Home Politik Mempersembahkan: Lakon Politik di Panggung Riset!

Mempersembahkan: Lakon Politik di Panggung Riset!

Mimpi teknokrat membangun pusat riset nasional dengan wadah Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) buyar ditengah jalan. Momentum pemisahan dari Kementerian Riset dan Teknologi menjadi badan otonom membuka ruang hadirnya campur tangan politik. 

Jakarta, Gatra.com - Hari itu, Presiden RI ke-5, MegawatiSoekarnoputri, terlihat anggun dengan dandanan kebaya warna cokelat dan selendang biru toska tersemat di bahunya. Masker warna putih yang menutupi separuh wajah tidak cukup menyembunyikan senyum sumringahnya saat menyambut salam Presiden Joko Widodo. Rabu itu, 13 Oktober 2021, bertempat di Istana Negara, Jakarta, Presiden melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Bersama Ketua Umum PDI Perjuangan itu, ikut dilantik sembilan sosok lainnya untuk mengisi kursi Dewan Pengarah BRIN. Termasuk, antara lain, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Soeharso Monoarfa, masing-masing sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah.

Penetapan keanggotaan Dewan Pengarah BRIN tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 45 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional. Sementara penempatan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah merupakan implementasi Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021. Pada peraturan yang disebutkan belakangan, dijelaskan bahwa jabatan ketua Dewan Pengarah BRIN diisi oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) secara ex officio. Seperti diketahui, pada Maret 2018, Presiden Jokowi melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Sesuai amanat Perpres, selaku Dewan Pengarah, Megawati bertugas memberikan arahan kepada Kepala BRIN dalam merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasonal di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada nilai Pancasila.

Pro dan kontra langsung menyeruak pasca-pelantikan Dewan Pengara BRIN tersebut. Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, langsung memberikan respons kritis lewat akun Twitter-nya. Azra menilai semestinya posisi Dewan Pengarah dipegang oleh peneliti berkaliber internasional jika BRIN memang serius mau melakukan riset dan inovasi unggul. ”Tidak pada tempatnya Ketua Dewan Pengarah BRIN ketum parpol yang tidak punya kepakaran soal riset dan inovasi—boleh jadi BRIN menjadi alat politik,” cuit Azra.

Lebih jauh, Azra mengingatkan Presiden Jokowi untuk belajar dari kasus BPIP yang Ketua Dewan Pengarahnya adalah juga Megawati Soekarnoputri yang ketua umum parpol. Akibatnya, menurut Azra, BPIP menjadi partisan dan kehilangan kepercayaan publik. “BRIN juga bakal bernasib sama seperti BPIP,” tulisnya.

Suara sumbang juga dikemukakan anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto. Dalam keterangan tertulisnya yang dipublikasikan sehari setelah pelantikan Dewan Pengarah BRIN, ia menilai pelantikan Megawati sebagai titik krusial campur tangan ideologi-politik di dunia riset dan inovasi. ”Dengan kondisi ini, menurut saya, terbuka lebar peluang politisasi riset,” ungkapnya.

Menurut Mulyanto, pemerintah memaksakan diri menempatkan Ketua Dewan Pengarah BPIP secara ex officio sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, “Pembangunan riset dan inovasi terpaut jauh dengan [fungsi] BPIP,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari, menilai posisi Megawati sebagai Dewan Pengarah BRIN yang juga merangkap Dewan Pengarah BPIP tidak lumrah. BRIN merupakan lembaga dibentuk undang-undang, namun justru diawasi lembaga yang berdasar Perpres. “BRIN dibentuk undang-undang, BPIP dibentuk Perpres. Ini janggal sekali, tidak logis secara perundangundangan,” katanya kepada Fakhry Arkan dari Gatra.

Maka, tidak terelakkan jika ada kesan pengendalian BRIN ada pada pihak tertentu. Ada kesan pemaksaan dalam penunjukan Megawati. Tidak ada lembaga yang ex officio dari lembaga lain kalau sifat kelembagaan itu independen. Ia menduga, pembentukan BRIN ini hanyalah upaya memusatkan kontrol pemerintah. Ia khawatir nanti hanya penelitian yang menguntungkan pemerintah saja yang dilanjutkan. Ini berdampak buruk bagi perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan. “Di sana sudah bisa diketahui, BRIN itu hendak dikontrol lembaga lain atau kepentingan politik lain,”ia menegaskan.

Penciptaan BRIN yang mengintegrasikan dan melikuidasi berbagai LPNK (lembaga penelitian non-kementerian) adalah malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia.

Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Menanggapi kritik tersebut, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, dalam siaran persnya ketika itu memberikan penjelasan. Menurutnya, riset dan inovasi harus digerakkan oleh ideologi.”Kebijakan pembangunan pun harus berlandaskan pada riset dan inovasi ilmu pengetahuan serta teknologi, yang berpedoman pada ideology Pancasila,” katanya. 

PDIP menilai penunjukkan Presiden Jokowi soal Megawati, selaras dengan konsistensi Ketum PDIP itu dalam menyuarakan pentingnya ilmu-ilmu dasar, riset, dan inovasi. Hasto menyebut Megawati sebagai penggagas awal BRIN, dan mengusulkan pada Jokowi agar BRIN hadir menjabarkan politik Indonesia Berdikari.

***

Sebelum ribut-ribut soal Dewan Pengarah, perihal eksistensi BRIN terlebih dahulu bikin gaduh seiring dengan dimulainya peleburan lembaga penelitian milik pemerintah dan institusi negara pada September tahun lalu. Suasana bertambah memanas ketika pada 31 Desember 2021 Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengumumkan menghentikan kegiatan penanganan pademi Covid-19.

Hal itu disebabkan fungsi yang dikerjakan Eijkman akan diambil alih oleh Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN. Hal ini ditanggapi secara kritis sebagai pembubaran lembaga riset yang telah berdiri sejak 1888 tersebut. Merespons kegentingan ini, sejumlah akademisi yang tergaung dalam Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa. Dimotori Narasi Institue, para teknokrat tersebut membuat petisi kepada Presiden Jokowi yang isinya menolak peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN. Bagi mereka, peleburan itu justru menimbulkan persoalan organinsasi yang menghambat penelitian.

Para cenderkiawan itu berharap BRIN menciptakan ekosistem pengetahuan dan inovasi yang mendukung lahirnya kebijakan publik berbasis riset berkualitas. Perubahan desain kelembagaan BRIN dikhawatirkan membuka peluang intervensi politik. Inisiator Petisi berpendapat BRIN seharusnya berfungsi hanya sebagai lembaga pendana riset dan pusat koordinasi inovasi ilmu pengetahuan dengan kemampuan mengintegrasikan lembaga lembaga iptek, riset dan penelitian di seluruh Indonesia.

Fungsi Koordinasi BRIN dapat dilakukan dengan mekanisme pendanaan berbasis usulan dan kompetisi Lembaga Iptek, riset, dan penelitian serta terkait dengan urgensi iptek dan road map iptek yang ditargetkan untuk mengejar kepentingan nasional jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Lagi-lagi, Azyumardi Azra menguarkan sikap kritisnya. Ia menyebut peleburan itu merupakan malapetaka bagi riset dan inovasi Tanah Air.

Dalam sebuah diskusi yang digagas Narasi Institute pada awal Januari lalu, Azra menilai langkah ini mendekonstruksi kelembagaan dan SDM. BRIN baginya lebih tepat menjadi badan yang bertugas menjalankan fungsi koordinasi, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. “Penciptaan BRIN yang mengintegrasikan dan melikuidasi berbagai LPNK (lembaga penelitian non-kementerian) adalah malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia,” katanya.

Menurut Co-Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, banyak peneliti yang terpaksa hengkang lantaran halangan birokrasi yang menyertai proses integrasi lembaga-lembaga ke BRIN. Kebanyakan problemnya menyoal status aparatur sipil negara (ASN) atau kewajiban lulus gelar doktor (S3). “Beberapa penolakan yang muncul di Eijkman misalnya, nanti akan diikuti sekitar 38 lembaga lainnya. Ada 1.500-1.600 peneliti yang tidak berstatus ASN,” ujarnya. 

Langkah mengadu ke Komnasham bahkan sudah dilakukan Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Andika, salah satu perwakilan, kepada Gatra menyebut langkah ini diambil karena ada yang diberhentikan BRIN tanpa pemberitahuan jelas. Andika sendiri, merupakan punggawa Kapal Riset (KR) Baruna Jaya BPPT. Tim riset ini berperan penting mengurai sebab akibat sejumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Alih-alih dipasok teknologi canggih deteksi dini bencana, mereka justru kehilangan pekerjaan.

Andika dinyatakan purna tugas selama sebulan terakhir, dikejutkan dengan pemberitahuan tidak lagi bertugas di BRIN sejak 1 Januari 2022. “Pemberitahuan secara lisan, surat tidak ada,” kata Andika kepada Gatra pada Senin, 17 Januari lalu.

Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pereira, menyebut integrasi BRIN bertujuan membangun sistem kerja memperkuat peran negara dalam memfasilitasi kerja pelaku riset dan inovasi. Ia yakin,kehadiran BRIN akan memangkas birokrasi panjang dan berbelit, yang selama ini menjadi masalah yang berdampak pada produktifitas dan kualitas output riset, “Dengan integrasi BRIN, fungsi riset dan inovasi akan lebih produktif, berkualitas, juga mungkin lebih efisien,” ujarnya kepada Gatra. 

Andreas mengaku paham akan alasan para pelaku riset dan inovasi maupun masyarakat akademis pada umumnya khawatir BRIN menjadi birokratis. Meski begitu, baginya merasa riset dan inovasi harus ideologis. Ia tidak sepakat BRIN disebut politis, tetapi benar kalau BRIN menjalankan politik riset dan inovasi negara. Karena menjalankan visi dan misi ideologi Negara, para pelaku riset dan inovasi, menurutnya sudah seharusnya adalah orang-orang idealis. “Sejalan dengan ideologi negara,” katanya.

***

Penguatan eksistensi BRIN sebagai badan tersendiri setingkat menteri ditandai dengan peleburan nomenklatur Kementerian Riset dan Teknologi ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2021. Saat itu, Presiden Jokowi sekaligus menjelaskan rencana menjadikan BRIN sebagai lembaga tersendiri. Sebelum peleburan itu, BRIN masih melekat dalam nomenklatur Kemenristek/BRIN. 

Pengamat politik Hendri Satrio menilai, Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN merupakan konsekuensi Perpres 78/2021 yang menyebut gamblang Ketua Dewan Pengarah BRIN ex officio berasal dari unsur lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintah bidang pembinaan ideologi Pancasila. Tentu saja, ini mengarah kepada BPIP, kepentingannya membuat pagar ideologis untuk riset dan inovasi di Indonesia. “Memagari riset dan inovasi menjadi kontraproduktif dengan semangat pengembangan dan kebebasan ilmu pengetahuan,” ia mengungkapkan kepada Muhammad Muttaqin dari Gatra.

BRIN hendak dikontrol lembaga lain atau kepentingan politik lain.

Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas

Menurut pengamat yang akrab dipanggil Hensat ini, Megawati adalah sosok yang layak duduk sebagai patron ideologis. Namun ia ragu bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan itu adalah sosok yang tepat untuk mendorong pengembangan dan inovasi iptek di Indonesia. Pengembangan iptek mutlak harus berlandaskan kebebasan dan kolaborasi. Tanpa dua syarat itu, maka, Hensat melanjutkan, BRIN akan selalu dicurigai sebagai alat kontrol politik terhadap peneliti dan pengembangan ilmu pengetahuan. “BRIN harus menguatkan iklim penelitian, tidak terjebak pada birokratitasi,” ujarnya.

Politisi PKS, Mulyanto, menyebut partainya mendorong agar pembatalan integrasi penelitian lewat BRIN dengan cara melebur lembaga. Ini diperlukan untuk menghentikan politisasi ruang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses integrasi itu. “Kita terus membangun kesadaran publik, termasuk peneliti agar politisasi iptek ini dapat dibendung,” katanya kepada Gatra. 

Ia juga menjelaskan amanat Pasal 48 UU Nomor 11/2019 tentang Sisnas-Iptek yang menyebut bahwa untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi yang terintegrasi, dibentuk badan riset dan inovasi nasional. Di sisi lain, proses tata ulang kelembagaan riset dan teknologi nasional yang dilakukan pemerintah baginya masuk tahap mengkhawatirkan.

Bukannya berkembang, justru menimbulkan kegaduhan. “Apa yang terjadi saat ini adalah efek bola salju politisasi iptek. Pemerintah terlalu memaksakan diri dan sradak sruduk. Terkesan bukan menata, tapi mengacak-acak,” ia mengungkapkan.

Senada, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, menyebut iptek penting menjaga kebijakan pemerintah yang mengarah kepada peningkatan rasa keadilan, kualitas demokrasi, dan kesejahteraan. Maka penting juga para ilmuwan diberi keleluasaan dan fasilitas riset di berbagai bidang. Maka, menurutnya, Partai Demokrat keberatan kalau iptek dipolitisasi kepentingan golongan tertentu. Apalagi, kepentingan jangka pendek. ”Demokrat terus mendorong pembatalan integrasi BRIN meski masih minoritas dan tenggelam dalam arus koalisi yang lebih besar,” ujarnya.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menilai wajar munculnya riak-riak terkait peleburan lembaga-lembaga riset milik pemerintah ke dalam BRIN. Menurutnya, transformasi adalah sesuatu yang menuntut konsekuensi besar. Belum pernah ada di Indonesia terjadi integrasi atas 39 entitas lembaga. Karena itu, tentu ada yang melihat peleburan atau integrasi ini sebagai suatu ketidakpastian. Tapi ia yakin, ada sebagian besar yang menilai langkah ini sebagai pembawa harapan. 

“Itu kembali ke alasan utama mengapa kita harus melakukan integrasi dan kita bentuk BRIN. Ini fenomena yang sudah lama terjadi, bahwa selama ini critical mass dari sumberdaya riset kita sangat rendah,” ujarnya kepada Gatra. 

Laksana menyebut dirinya akan menjadikan penolakan-penolakan itu sebagai motivasi untuk menunjukkan bahwa pembentukan BRIN dan integrasi unit riset dalam BRIN itu adalah solusi yang terbaik dan harus dilakukan segera. Apalagi, menurutnya, inetgrasi ini sudah menjadi amanat undang-undang dan kebijakan pemerintah melalui Perpres. “Saya yakin, jauh lebih banyak periset yang mendukung. Saya tahu persis itu, karena saya juga periset,” ucapnya.


Sandika Prihatnala, Ucha Julistian Mone, Ryan Puspa Bangsa, dan M. Guruh Nuary 


Berita lengkap tentang topik ini dapat diperoleh di Majalah Gatra, Edisi 13, 26 Januari 2022

 

810