Yogyakarta, Gatra.com - Sebanyak 165 warna negara Indonesia (WNI) terancam dihukum mati di luar negeri. Selain upaya hukum, langkah pencegahan tak kalah penting untuk menghindarkan WNI dari hukuman mati di negara lain.
Hal itu mengemuka di acara “Sosialisasi dan Penyusunan Buku Pedoman Pendampingan WNI yang Menghadapi Ancaman Hukuman Mati di Luar Negeri”, Kementerian Luar negeri (Kemenlu) RI di Yogyakarta, Kamis (20/6).
“Sesuai Keputusan Menteri Luar Negeri, pedoman penanganan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri ini menjadi prioritas karena kasus ini tergolong high profile case,” kata Direktur Perlindungan WNI Dirjen protokol dan Konsuler Kemenlu RI, Judha Nugraha.
Kepada wartawan, ia merinci saat ini terdapat 165 WNI yang terancam hukuman mati di mancanegara. Dari jumlah tersebut, mayoritas berada di Malaysia yakni 155 orang atau 94 persennya. Selain itu, ada pula kasus di Arab Saudi 3 orang, Uni Emirat 3 orang, Laos 3 orang, dan Vietnam 1 orang.
Khusus di Malaysia, di luar 155 kasus yang tengah berjalan proses hukumnya itu, dalam paparan sosialisasi Judha menyebut, hingga Mei 2024 ada 51 dari 70 WNI terpidana mati di Malaysia telah dibebaskan dari vonis hukuman mati setelah menjalani peninjauan kembali.
“Langkah-langkah terkoordinasi kami lakukan untuk memastikan para WNI tersebut mendapat hak-haknya secara adil dalam sistem peradilan setempat,” tuturnya.
Menurutnya, pedoman penanganan ini disusun melalui proses panjang selama tiga tahun. Kemenlu berkolaborasi dengan semua pihak menangani kasus hukuman mati di luar negeri di samping juga menempuh langkah pencegahan.
“Tidak lagi menjadi pemadam kebakaran ketika ada kasus, tapi akan jauh lebih efektif dengan langkah-langkah pencegahan sejak dari hulunya,” kata Judha.
Upaya pencegahan tersebut dengan memberikan informasi semasif mungkin tentang budaya adat dan sistem hukum negara tujuan WNI. “Harus ada kesadaran migrasi aman. Sebelum berangkat, informasi tentang tindak pidana yang bisa berujung hukuman mati juga diberikan. Ini akan efektif mencegah,” paparnya.
Kendati demikian, ia menyatakan selalu ada tantangan berupa tambahan kasus baru. "Tahun lalu kami menyelamatkan 19 kasus, tapi ada tambahan 29 kasus baru," katanya.
Dalam paparan di acara tersebut, Devi Triasari, Tenaga Ahli Madya Kedeputian Perekonomian Kantor Staf Presiden menjelaskan, Presiden Joko Widodo tertarik dengan upaya Filipina melindungi pekerja migran mereka di di luar negeri, termasuk dari ancaman hukuman mati.
Menurut Devi, Filipina memiliki praktik baik dengan menggelar Pre-Employment Orientation Seminar (PEOS). Seminar ini memberi gambaran benefit dan risiko bekerja di luar negeri sebelum masyarakat mendaftar.
“Ini tidak ada di Indonesia karena di sini sosialisasi hanya diberikan setelah masyarakat mendaftar sebagai pekerja migran,” paparnya.