Home Pemilu 2024 TM Luthfi Yazid: Bawaslu Jangan Menjadi Macam Ompong!

TM Luthfi Yazid: Bawaslu Jangan Menjadi Macam Ompong!

Jakarta, Gatra.com - Perselisihan hukum akibat penyelenggaraan Pemilu 2024 masih saja terjadi di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini menunjukkan sistem hukum nasional yang seharusnya menjaga dan memberikan kepastian hukum masih lemah.

Begitulah sedikit banyak yang dikemukakan pakar dan praktisi hukum Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M, kepada Gatra.com, Kamis (30/5). Dampaknya, kinerja institusi hukum nasional tidak optimal bahkan terkesan serampangan dalam melayani kebutuhan hukum masyarakat.

Buktinya fenomena tersebut terjadi pada sejumlah institusi hukum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang mendapat banyak kritik pedas selama dan sesudah proses Pemilu 2024.

Luthfi lantas menunjukkan kasus hukum Pemilu Presiden 2024. Terkait hal ini, Luthfi turut menjadi tim hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). "Penyelesaian sengketa Pilpres di MK, misalnya, kok cuma 14 hari. Bagaimana menciptakan putusan yang adil? Bagaimana pembuktian dan pemeriksaan saksi bisa mendalam?" Tapi untungnya, lanjut Luthfi, "Masih ada dissenting opinion dari tiga hakim MK yang tak pernah terjadi dalam sejarah."

Sengketa hukum juga terjadi di daerah. Salah satu Caleg (calon legislatif) dari Partai Gerindra, Setiadharma, merasa telah terjadi kecurangan Pemilu dalam perolehan suaranya di Dapil Jawa Tengah IV (baca: Caleg Partai Gerindra Tuding Bawaslu Jateng Tidak Transparan).

Terkait dengan hal ini, Luthfi mengatakan tugas utama Bawaslu memang bukan "badan penerima laporan". Tugas utama Bawaslu, menurut Undang-undang (UU) Pemilu no. 7 Tahun 2017, Pasal 454 ayat 2, sesuai dengan namanya, adalah badan pengawas.

"Poin penting di situ disebutkan bahwa pengawasan itu harus aktif. Bawaslu dari awal harus kritis dan proaktif dari sejak pencegahan terjadinya kecurangan dalam Pemilu," katanya. Tapi perangkat institusi Pemilu yang ada "semuanya memble, hanya jadi macan ompong".

Jika ada kasus hukum, "Jawaban klasik Bawaslu selalu 'dihentikan karena tidak memenuhi unsur pelanggaran'. Bawaslu selalu cuci tangan, hanya terima laporan tok. Mestinya sejak dini sudah diantisipasi kemungkinan adanya kecurangan," kata pendiri Indonesian Hajj and Umroh Watch (IHUW) ini.

Sebab itulah, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia 2019 – 2024 ini menilai keberadaan Bawaslu harus dievaluasi total jangan hanya menjadi “aksesoris” belaka. "Bahwa Pemilu kita ini demokratis dengan adanya lembaga-lembaga seperti KPU, Bawaslu, DKPP, dan Gakkumdu. Padahal semuanya cuma penghias demokrasi saja, tidak substantif," katanya. 

91