Jakarta, Gatra.com – Masyarakat perlu tahu hak dan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan batu bara kepada warga terdampak. Sebab, kehadiran tambang batu bara merusak sumber air bersih rakyat, habitat satwa liar, lingkungan hidup, dan sejenisnya.
Hal tersebut disampaikan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), Pradarma Rupang, dalam diskusi daring pada Senin (31/1). Dia menyatakan, Jatam Kaltim menyambut baik putusan Komisi Informasi Pusat (KIP).
Pada 20 Januari 2022, majelis hakim komisioner KIP mengabulkan dua gugatan sengketa informasi penting terkait data dan dokumen sektor tambang batu bara. Kedua gugatan dilayangkan oleh publik kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Majelis hakim memutuskan satu dokumen ‘Kontrak Karya’ (KK) dan lima kontrak ‘Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara’ (PKP2B) sebagai dokumen yang terbuka bagi publik. Kemudian, juga membatalkan SK Menteri ESDM Nomor 002 Tahun 2019 yang menyebut dokumen KK dan PKP2B sebagai dokumen rahasia.
“Ketertutupan yang dilakukan pemerintah akan cenderung kental dengan pendekatan korupsi, sehingga keterbukaan informasi ini penting sekali harus segera dilakukan demi kepentingan publik yang lebih besar,” ujarnya.
Rupang mengatakan, masyarakat di lingkar tambang sering menghadapi krisis, ancaman keselataman, dan sejumlah konflik. Kondisi ini tak kunjung mendapatkan penyelesaian, bahkan konfliknya cenderung berlapis-lapis dan terus menumpuk seiring waktu.
Menurut dia, seharusnya ada kejelasan mengenai pertanggungjawaban atas pelanggaran dan upaya penegakan hukum. Selain itu, juga informasi ihwal kewajiban perusahaan kepada warga di sekitar lingkar tambang.
“Hal ini kerap tidak diindahkan oleh pemerintah. Bahkan, saat kami meminta ke pemerintah daerah (Pemda), alasannya bahwa kontrak karya bukan kewenangan mereka. Itu ada di pusat. Maka, pilihannya adalah kami harus mengakses ke pemerintah pusat,” ujarnya.
Rupang menambahkan, masyarakat mestinya menerima banyak hak seperti dinyatakan dalam kontrak. Namun, hak itu tidak pernah diuraikan pemerintah. Bahkan, Pemda tak tahu apa sebetulnya hak dan kewajiban perusahaan terhadap warga di lingkar tambang.
“Bagaimana penyelesaian krisis-krisis tersebut? Apa saja kewajiban perusahaan? Itu pun masih menjadi tanda tanya. Berapa sebenarnya yang diterima negara dari kehadiran perusahaan? Ini adalah pertanyaan yang enggak bisa terjawab jika masyarakat tidak bisa mengakses kontrak karya antara pemerintah dan perusahaan,” katanya.