Home Kesehatan Catatan Reflektif Dua Tahun Pandemi Covid-19 di Tanah Air

Catatan Reflektif Dua Tahun Pandemi Covid-19 di Tanah Air

Jakarta, Gatra.com - Pandemi Covid-19 genap melanda Tanah Air selama dua tahun pada Rabu kemarin (2/3). Tampak menjadi ingatan kolektif momen Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus positif corona pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020 yang lalu.

Selama dua tahun belakangan, Indonesia dilanda oleh tiga gelombang Covid. Gelombang pertama disebabkan oleh penyebaran varian asli Wuhan pada awal 2020. Gelombang kedua terjadi pada pertengahan 2021 sebagai imbas dari menyebarnya varian Delta. Terakhir, hingga saat ini, Indonesia sudah memasuki gelombang ketiga yang disebabkan varian Omicron.

Setiap periode gelombang punya ceritanya sendiri-sendiri. Paranoia ekstrem mewarnai kondisi awal Covid-19 melanda Tanah Air. Gelombang kedua ditandai dengan tingginya kasus kematian dan sistem kesehatan yang kolaps. Gelombang ketiga tampak tidak begitu dihiraukan mengingat gejala-gejalanya diklaim lebih ringan dari varian Delta.

Mahasiswi asal Jakarta, Ve (20), mengingat kembali momen-momen pertama kali hidupnya berubah drastis sejak 2 Maret 2020. Ketika dua pasien pertama Covid-19 asal Depok, Jawa Barat, diumumkan ke publik oleh presiden, di situlah ia merasa banyak rencana hidupnya harus diubah.

“Inget banget waktu pasien 01 dan 02 pertama kali diumumin itu pas aku ada kelas. Itu jadi hot topic banget dulu. Gak lama ada pengumuman kalau kuliah diliburin dua minggu. Eh malah jadi kuliah jarak jauh selama dua tahun,” kata Ve kepada Gatra.com melalui pesan teks, Rabu (2/3).

Dengan sistem pembelajaran seperti itu, Ve mengaku mendapat kesulitan dalam mengikuti perkuliahan. Jumlah tugas kuliah yang menggunung, membuat Ve merasa selalu mengikuti kelas selama 24 jam penuh.

Selain berdampak pada studi, Covid-19 juga membuat Ve harus menjalani magang dengan sistem Work from Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Rencana-rencana hidupnya pun harus diubah lantaran diterpa pandemi. Ve harus merancang rencana baru menyesuaikan kondisi krisis saat ini.

Bukan hanya menggoncang sektor kesehatan, pandemi Covid-19 juga berdampak sangat besar pada perekonomian. Kondisi keuangan Ve tak luput dari incaran Covid-19. Ia bercerita bahwa orang tuanya yang bekerja di sektor pariwisata sempat menjadi korban krisis ini.

“Pariwisata kan terdampak banget pas awal Covid-19. Jadi pendapatan orang tuaku sempat seret. Beruntung banget sekarang sedikit demi sedikit sudah membaik,” ujar Ve.

Satu hal yang Ve pelajari dari dua tahun hidup berdampingan dengan Covid-19, setiap orang dituntut bisa beradaptasi secara cepat dengan kondisi sekitar. Ia menilai dirinya sebagai orang yang statis. Dampaknya, Ve mengalami kesulitan beradaptasi. “Sekarang aku sadar banget kemampuan adaptasi tuh penting,” tandasnya.

Walau berbagai pihak belum benar-benar yakin situasi getir ini akan cepat berlalu, Ve betul-betul berharap pandemi segera lenyap dari Bumi Pertiwi. “Banyak wishlist-ku yang belum terealisasi karena Covid-19 ini masih ada,” katanya.

Di sisi lain, kalangan epidemiolog punya catatan sendiri mengenai dua tahun pandemi di Indonesia. Walau tak semua senada, beberapa dari mereka menilai positif upaya penanggulangan pandemi dari pemerintah, dengan catatan kekebalan alami tubuh juga membantu mempercepat pemulihan kondisi krisis itu.

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan, menyebut satu pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman hidup dengan Covid-19 selama dua tahun ini. Menurutnya, pembatasan mobilisasi masyarakat (PSBB, PSBB Transisi, PPKM Mikro, hingga PPKM Level 1-4), program vaksinasi, dan kemunculan antibodi alami dalam tubuh pasien setelah terinfeksi menjadi pelajaran penting untuk menghadapi potensi krisis serupa di masa mendatang.

Tidak hanya itu, Iwan juga mengapresiasi kerja sama holistik antara pihak pemerintah dan masyarakat sipil. Kerja sama positif keduanya berhasil membantu meringankan masa-masa sulit ini.

“Kalau pemerintah saja percuma. Kalau masyarakat saja juga percuma. Harus dua-duanya,” ujar Iwan kepada Gatra.com melalui sambungan telepon pada Rabu (2/3).

Eidemiolog UI lainnya, Tri Yunis Miko Wahyono, tak menampik suksesnya upaya-upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Ia menilai bahwa langkah-langkah itu sudah komprehensif. Hanya saja, ia punya sejumlah catatan kecil.

“Artinya sudah komprehensif seluruh sektor terlibat, hanya saja belum optimal. Jadi upayanya dari awal sampai akhir seolah-olah apa adanya,” kata Tri kepada Gatra.com.

Di samping itu, Tri juga menyoroti soal koordinasi upaya penanggulangan Covid-19 pemerintah yang tampak tumpang tindih. Seperti diketahui, pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) pada 2020 lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto ditunjuk jadi Ketua KPC PEN. Posisi Wakil Ketua I sekaligus Koordinator PPKM Jawa-Bali diemban oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Pandjaitan.

KPC PEN juga punya pembantu pelaksana, yaitu Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Covid-19 di bawah naungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). TNI-Polri juga dikerahkan dalam program vaksinasi. Sementara posisi Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, hanya sebatas berperan sebagai Wakil Ketua VI KPC PEN.

“Secara organisasi, kita tidak belajar. Negara-negara lain semua di bawah Kemenkes. Kenapa negara kita di bawah Menko Ekonomi? Memang belajar koordinasi itu susah. Tapi kita harus belajar. Ini berhubungan dengan hal resilien. Menurut saya, kita harus punya ketahanan sistem kesehatan yang baik,” kata Tri.

Sekarang, di tengah melandanya varian Omicron, sebagian sudah tampak jenuh dengan pembatasan mobilitas. Sebagian lainnya tetap waspada akan kemungkinan tiba-tiba yang disuguhkan oleh Covid-19.

Dua epidemiolog itu setuju bahwa masih ada potensi mutasi lain yang bisa memunculkan varian baru Covid-19. Kabar baiknya, kemungkinan itu disebut bisa diminimalisir lantaran banyak warga Indonesia dianggap sudah kebal sebagai imbas munculnya kekebalan tubuh alami dan program vaksinasi massal.

Varian lain bisa muncul lagi di masa mendatang. Namun, bagi Iwan, kejadian itu memerlukan syarat. “Kemungkinan mutasi jadi lebih besar kalau penularan tinggi. Makanya penularan tetap harus dijaga. Salah satu caranya dengan cara vaksinasi,” katanya.

Saat ini, masyarakat Indonesia bisa sedikit lega lantaran varian Omicron tak seburuk Delta. Angin segar ini membawa publik pada pembicaraan mengenai adanya kemungkinan transisi status pandemi menjadi endemi.

Bagi Iwan, endemi Covid-19 bisa digambarkan sebagai kondisi di mana penyakit atau virusnya masih tetap berkeliaran, tapi tidak begitu menimbulkan masalah kesehatan yang buruk. Endemi juga dicirikan oleh kenaikan jumlah pasien yang stagnan atau bahkan berkurang, dan angka kematian tidak melonjak tinggi dalam kurun waktu tertentu.

“Kalau PPKM sudah level 1, itu sudah terkendali. Cuma nggak bisa begitu satu-dua hari bilang endemi. Nggak bisa. Kita mesti kasih waktu dulu. Misalnya tiga bulan. Setelah tiga bulan, kemudian cakupan vaksinasi juga dipertahankan tinggi, itu bisa dikatakan sebagai kondisinya terkendali kalau belum mau mengatakan endemi,” jelas Iwan.

Mengenai kapan hal itu terjadi, Iwan menyebut bahwa itu tergantung pada pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Mengacu pada Badan Kesehatan Dunia (WHO), ia menduga fase endemi akan dimulai pada akhir tahun 2022 ini.

Sementara itu, Tri berharap agar pandemi Covid-19 tidak bernasib sama seperti pandemi Flu Spanyol pada 1918 silam. Pandemi lebih dari seabad yang lalu itu kerap disebut juga sebagai 'pandemi yang terlupakan'. Hanya saja, untuk mengingat pandemi Covid-19 ini sebagai acuan pembelajaran kolektif di masa depan, Indonesia mempunyai tantangan tersendiri. Tri menilai bahwa warga Indonesia cenderung pelupa.

“Semua pandemi menurut saya akan terlupakan. Jangankan pandemi Covid terlupakan, orang kejadian Juni-Juli 2021 yang semua kematiannya luar biasa (akibat penyebaran varian Delta), sekarang sudah dilupakan kejadiannya itu. Belum saja dua tahun. Baru satu tahun sudah pada lupa,” kata Tri.

“Jadi orang pasti tidak akan mengingat. Orang akan melupakan. Kecuali saya. Saya menangisi masa-masa itu karena saya tahu apa yang terjadi sebenarnya. Orang boleh melupakan, tapi saya tidak akan melupakan itu,” tandas Tri.

226