Home Politik 110 Juta Netizen Setuju Penundaan Pemilu, Drone Emprit: Impossible!

110 Juta Netizen Setuju Penundaan Pemilu, Drone Emprit: Impossible!

Jakarta, Gatra.com - Isu penundaan Pemilu 2024 masih terus bergulir. Beberapa elit politik dan pejabat tinggi pemerintah sempat mengeklaim bahwa masyarakat menyetujui wacana ini.

Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi menegaskan bahwa mustahil terdapat 110 juta netizen yang melakukan percakapan dan setuju tentang penundaan Pemilu 2024.

"Saya ditanya oleh Saiful Mujani di Twitter, langsung saya respon, impossible," katanya dalam diskusi virtual pada Sabtu (19/3).

Hal ini diungkapkannya sebagai respon pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut 110 juta netizen setuju Pemilu 2024 ditunda beberapa waktu lalu.

Ismail menjelaskan, pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 191,4 juta orang. Dari total ini, masih terbagi menjadi beberapa segmen media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, hingga YouTube.

"Sementara kalau kita bicara dari Twitter saja, itu hanya 18,45 juta orang," tutur Ismail.

Artinya, lanjut Ismail, 110 juta netizen yang disebut Luhut, harus semuanya melakukan percakapan terkait penundaan Pemilu 2024. Kemudian, lebih dari 60% di antaranya harus menyatakan setuju adanya penundaan.

"Data saya dari Drone Emprit, hasilnya sangat jauh berbeda, 10 ribu atau atau 20 ribu dari Twitter saja, dan kalau dari Facebook ditambahkan itu juga tidak akan sampai 1 juta," ucapnya.

Ia juga menegaskan bahwa perolehan dan analisis big data juga harus menggunakan metodologi ilmiah. Paling tidak, proses pengumpulan data itu harus menyebutkan kata kunci.

"Artinya banyak sekali kemungkinan kata kunci yang mungkin diucapkan oleh netizen. Itu harus kita tangkap semuanya," ujarnya.

Selain kata kunci, perolehan data juga dipengaruhi periode waktu. Perbedaan periode waktu pengumpulan data, akan berpengaruh signifikan pada hasil.

Selanjutnya, sumber perolehan big data ini harus jelas, lantaran jumlah pengguna setiap platform media sosial berbeda-beda. Bahkan, cara pengumpulan datanya pun akan berbeda di setiap platform media sosial.

"Paling susah itu Facebook dan Instagram. Kita semua sudah tahu tidak akan bisa mendapatkan seluruh populasi percakapan itu," jelas Ismail.

Ia kembali menegaskan, metodologi perolehan big data harus dibuka. Setidaknya, terdapat tiga hal yang sangat penting seperti kata kunci, periode waktu, dan sumber data.

"Analisis big data untuk media sosial ini masuk ranah data science yang lebih ke akademik, dan itu sudah ada metodologi ilmiahnya," katanya.

207