Jakarta, Gatra.com- Asisten Deputi Pengembangan dan Pembaruan Perkoperasian, Kementerian Koperasi & UKM, Bagus Rachman mengatakan pihaknya mendorong petani sawit swadaya tergabung dalam koperasi. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil sumber daya alam
(SDA)-nya.
Karena itu, upaya melibatkan usaha rakyat secara lebih luas menjadi penting dipertimbangkan supaya pasar nasional tidak rentan akibat dominasi pelaku industri besar yang justru cenderung mengambil untung saat kenaikan harga produk sawit di tingkat internasional terjadi.
“Korporatisasi sawit adalah kebijakan untuk mewujudkan apa yang disebut korporasi petani sawit. Ini tujuannya untuk meningkatkan pendapatan para
petani sawit," kata Bagus dalam dalam diskusi daring bertema "Atur Ulang Tata Kelola Sawit" yang digelar FMB9 (Forum Merdeka Barat9), Rabu (8/6).
Bagus menjelaskan, berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 tercatat lebih dari 40% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh
petani swadaya. Namun sayang, hingga kini masih banyak petani yang belum tergabung dalam
koperasi, sehingga mereka tidak mendapat keuntungan yang layak.
"Dari sisi tata kelola, kita bicara dari hulu dulu ya. Jadi kalau kita melihat data dari BPS tahun 2020, tercatat 14,59 juta hektar luas perkebunan sawit di Indonesia," papar Bagus.
Yang menarik, menurut Bagus, dari total tersebut, terdapat sekitar 41% atau 6,04 juta hektar di antaranya dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Mereka adalah petani sawit yang memiliki lahan terpisah-pisah.
Maka dari itu, lanjutnya, kehadiran KemenKopUKM dalam urusan tata kelola industri sawit ini, pertama dapat dipandang sebagai konsolidator para petani
sawit."Nah, dari sisi KemenKopUKM, kita bicara bagaimana para petani swadaya itu sebaiknya terkonsolidasi melalui wadah koperasi, sehingga naik secara ekonomi," tuturnya.
Bagus mengatakan, keuntungannya apabila bergabung ke koperasi ialah, koperasi dapat berperan sebagai aggregator hasil produksi anggota dan memfasilitasi kebutuhan pinjaman produktif anggota.
Dalam implementasinya, petani kelapa sawit diharapkan menjual TBS kepada koperasi. Koperasi membeli dan mengolah TBS (PKS sendiri) atau bermitra dengan perusahaan. Koperasi memasarkan crude palm oil (CPO) dan produk lain baik pasar ekspor maupun domestik.
Korporasi Koperasi Petani Kelapa Sawit diharapkan membuat petani mampu menghadapi fluktuasi harga TBS, melakukan peremajaan dan bersertifikat ISPO,
meningkatkan produktivitas dan tata kelola kebun yang lebih baik, membuka akses pasar dan permodalan.
Nantinya lanjut Bagus, koperasi petani sawit harus menjadi koperasi modern yang telah mengadopsi teknologi serta berpotensi dalam skala industri.
Sehingga memiliki akses terhadap sumber permodalan dan pasar agar menghasilkan nilai tambah tinggi dan manfaat yang besar kepada anggotanya dengan mengedepankan nilai dan prinsip koperasi.
Masih menurutnya, pengembangan model bisnis koperasi sawit merupakan tugas Kemenkop dan UKM dengan dukungan sejumlah lembaga terkait
termasuk Pemerintah daerah. "Nanti akan ada pendampingan, tapi bukan hanya di koperasinya, tetapi juga di petaninya dan desanya. Di situlah pentingannya peran serta Pemda," ujar Bagus.
Lebih lanjut, Bagus menyampaikan, bicara tata kelola industri sawit perlu dilihat dari hulunya. Untuk itu KemenKopUKM, katanya, terus berkolaborasi dengan
berbagai pihak lintas kementerian dan lembaga.
"Bicara industri sawit, ini kan bicara dari hulu ke hilir ya. Seperti diketahui, bicara hilirisasi sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga nanti masyarakat yang menerima tentunya diharapkan dengan harga yang terjangkau," paparnya.
KemenKopUKM, kata Bagus, terus berupaya melakukan kemandirian pangan. Artinya, devisa negara tidak hanya datang dari kegiatan ekspor, namun juga dari masyarakat itu sendiri.
"Kita juga melakukan kemandirian pangan, bahwa tidak hanya ekspor yang masuk ke devisa tapi juga dari kita sendiri masyarakat, harus bisa menerima hasil dari sumber daya alam yang kita miliki dari dan oleh untuk masyarakat," tutupnya.