Home Nasional Mematikan Teror, Memutus Dana Teroris

Mematikan Teror, Memutus Dana Teroris

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah terus berupaya memberangus kelompok terorisme di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS). Upaya tersebut dilakukan untuk mewaspadai berkembangnya ISIS di Indonesia setelah adanya proses ba’iat terhadap pemimpin baru kelompok teroris itu. Diketahui, pasca kematian pemimpin lama ISIS Abu Ibrahim Al-Hashimi Al-Quraishi yang tewas dalam serangan operasi khusus di Suriah pada 3 Februari 2022, ISIS mendeklarasikan pemimpin barunya bernama Abu Hassan al-Hashemi al-Qurashi.

Diberitakan, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 24 terduga teroris yang tergabung dalam Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan ISIS. Mereka diamankan tim detasemen burung hantu sejak 14 hingga 16 Mei 2022. Dari jumlah tersebut, 22 orang ditangkap di Sulawesi Tengah, 1 orang di Bekasi, dan 1 orang di Kalimantan Timur.

Operasi memerangi terorisme tidak akan berhasil tanpa dibarengi upaya memutus rantai pendanaan teroris serta mematikan ideologi berpaham keras. Karena itu, pemerintah melalui Densus 88 terus membongkar sejumlah yayasan amal yang diduga mendanai kelompok teroris, salah satunya mengalir ke pundi-pundi Jaringan Islamiyah (JI).

Sebagai tindak lanjut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memasukkan 8 yayasan penggalangan dana kemanusiaan ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Yayasan tersebut di antaranya Hilal Ahmar Society Indonesia, Muslimah Bima Peduli, Gerakan Sehari Seribu, Baitul Mal Al Ishlah, Al-Haramain Foundation Indonesia, Baitul Mal Ummah, Abu Ahmad Foundation, Azzam Dakwah Center.

Selain itu, Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini menjatuhkan sanksi kepada 5 WNI karena diduga mendanai jaringan kelompok teroris ISIS di Suriah. Sanksi yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS berupa pembekuan aset terhadap kelima WNI dan sanksi bagi setiap orang yang bertansaksi dengannya.

Pengamat Radikalisme dan Terorisme Universitas Indonesia (UI) Zora Sukabdi mengatakan, terorisme merupakan persoalan yang harus dituntaskan dari hulu ke hilir. Bibit utama terorisme adalah ideologi atau pemikiran. “Bicara finansial [pendanaan], cyber patrol nanti. Yang penting kita lihat atau bersihkan dulu ideologinya,” ujar Zora kepada Gatra.com.

Terkait pemutusan pendanaan terorisme, PBB menurutnya telah mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 tertanggal 15 Oktober 1999. Resolusi itu meminta setiap negara membekukan secara seketika dana, aset keuangan, atau sumber ekonomi individu dan organisasi yang terkait Al-Qaeda atau Taliban.

Belakangan, pembekuan aset-aset terorisme secara luas juga diwajibkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 pada 28 September 2001. Selain menghentikan pendanaan terorisme, konvensi itu mengharuskan setiap negara mengatur pembekuan serta merta terhadap negara proliferasi (pengembang) senjata pembunuh massal.

“PBB itu lagi menggalakkan freezing atau pembekuan aset, cuma problem-nya tidak semudah itu di Indonesia, ini yang sedang kami teliti,” katanya. Pemerintah menurutnya telah meratifikasi konvensi PBB, bahkan menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 yang menjadi dasar mekanisme pembekuan seketika (freezing without delay) untuk memenuhi standar internasional dalam penanganan pendanaan terorisme.

Meski sudah ada UU, pemerintah masih dianggap lemah dalam menangkal pendanaan terorisme. “Secara payung hukum sudah cukup, cuma undang-undang itu (UU 9/2013) mesti diturunin lagi aturan teknisnya. Itu perlu ada komitmen bersama dengan kementerian, mungkin kayak SKB (Surat Keputusan Bersama),” Zora menjelaskan.

Setidaknya terdapat dua alasan yang menyebabkan lemahnya tindakan hukum terhadap pelaku pendanaan terorisme. Pertama, masifnya stigma Islamophobia di Indonesia. Sehingga, alasan ini membuat pemerintah kurang agresif menindak pelaku terorisme, khususnya melakukan pembekuan aset-aset terorisme. Kedua, adanya dugaan sejumlah instansi pemerintah diisi atau disusupi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) berpaham radikal.

“Bisa juga kalau diputuskan di-freezing maka akan mengubah struktur di kementerian atau lembaga [keuangan] tersebut. Ketika terjadi restrukturisasi dan mulai dari nol lagi, spirit-nya belum tentu sama,” ucap Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia itu.

Karena itu, Zora berharap pemerintah mengubah paradigma. Bahwa pemberantasan terorisme harus dilakukan menyeluruh termasuk memutus mata rantai pendanaan terorisme. “Satu sisi kita tidak mau mengembangbiakkan terrorism. Tetapi di sisi lain, kita juga tidak mau ada Islamophobia. Dulu pas Amerika meminta PBB mem-freezing [aset] Al Qaeda, kita seharusnya gerak cepat,” katanya lagi.

Zora menjelaskan, kelompok teroris menjalankan aktivitas terorisme secara klandestin (rahasia). Termasuk menggunakan sistem Hawala dalam pendanaan terorisme, sehingga tidak mudah dideteksi aparat. “Hawala itu kayak civil bank, paper data modelnya kayak arisan di mana satu orang bisa pegang [uang] ratusan juta di rumah. Kalau mau dibongkar kan kayak terhambat human rights,” ujarnya.

Pemerintah dalam hal ini aparat keamanan sudah mengetahui mekanisme dan cara kerja Hawala. Hanya saja menurut Zora, pemerintah terhambat budaya masyarakat yang kolektif. “Bitcoin masih bisa di-track. Kalau Hawala pencatatannya pakai tangan [manual]. Misalnya, dia minjam Rp20 juta buat tiket ke Turki. Kita tahu cara kerjanya, tapi cara menanganinya yang kita enggak tahu”.

Guna mengantisipasi penyalahgunaan uang sumbangan amal (charity) untuk kegiatan terorisme, Zora menyarankan agar pemerintah memberlakukan early warning system (EWS). Di mana ada layanan hotline bagi masyarakat untuk mengetahui latar belakang atau profil dari yayasan amal tersebut.

“Di luar negeri ada neighbourhood watch. Misalkan, kita mau menyumbang kotak amal atau apa, lalu kita ragu punya siapa, nomor telepon dan websitenya valid apa tidak, itu semestinya masyarakat punya hotline service,” katanya.

Pemerintah menurutnya harus meningkatkan pengawasan dan deteksi terhadap WNI yang pulang dari negara konflik. Kewaspadaan itu diberlakukan menyikapi laporan Pemerintah Amerika Serikat terkait dugaan WNI sebagai fasilitator keuangan ISIS. “Kalau udah jelas-jelas FTF (Foreign Terrorist Fighters) atau orang yang pulang dari negara konflik di mana di situ tidak ada universitas besar untuk sekolah mungkin ya harus dilacak [asetnya] dan langsung dibekukan. Kalau jelas ada orang pulang dari Syria, itu keperluannya apa?,” Zora mengungkapkan.

Menyikapi laporan 500-an WNI eks ISIS yang kini berada di Suriah, pemerintah menurutnya telah membuat keputusan politik untuk menolak rencana repatriasi WNI bekas kombatan ISIS beserta keluarganya. Meski demikian, kalangan HAM membuka wacana akan perlu tidaknya memulangkan anak-anak WNI eks ISIS ke Tanah Air dengan syarat dilakukannya deradikalisasi.

“Memang sudah pernah diwacanakan oleh Pak JK [Mantan Wapres RI Jusuf Kalla] bahwa usia 10 tahun ke bawah bisa pulang, cuma realisasinya terhambat identifikasi. Di samping Kemenlu dan intelijen khawatir akan smuggling orang ke dalam, karena identifikasinya enggak jelas WNI atau bukan, malah nanti masuk ke kita,” pungkas Zora.

861