Jakarta, Gatra.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Albert Purwa menyayangkan penyebutan 15 RUU dalam rencana yang dibacakan Ketua DPR tersebut, tampak begitu saja menggabungkan Daftar RUU Prioritas 2022 dan Daftar RUU Kumulatif Terbuka.
“Penggabungan ini tentu saja mengabaikan perbedaan tata cara perencanaan hingga penyusunan 2 jenis perencanaan legislasi antara daftar prioritas prolegnas dan kumulatif terbuka,” kata Albert dalam Evaluasi Kinerja DPR oleh Formappi melalui Zoom, Jumat (6/1).
Albert menyebut seharusnya Ketua DPR membuat pembedaan dalam penyampaian rencana pelaksanaan fungsi legislasi, untuk menekankan bobot pembahasan legislasi antara RUU yang berasal dari Daftar RUU Prioritas Prolegnas dan RUU Kumulatif Terbuka.
Menurut Albert, RUU Kumulatif Terbuka lebih disusun tanpa penyusunan naskah akademik, melainkan hanya memfinalisasi kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah RI dan pemerintah negara lain.
DPR memang berhasil membukukan pengesahan beberapa RUU selama Masa Sidang (MS) II yakni: (1) RUU Provinsi Papua Barat Daya , (2) RUU KUHP, (3) RUU Kerja Sama Pertahanan Indonesia-Singapura, (4) RUU Kerja Sama Pertahanan Indonesia-Fiji, (5) RUU Perjanjian Indonesia-Singapura tentang Ekstradisi Buronan, (6) Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
Baca Juga: Kinerja DPR Makin Loyo, Banyak RUU Dibuat Sarat Kepentingan Politik
Albert memaparkan dari 6 RUU yang disahkan pada MS II di atas hanya 2 RUU yang merupakan bagian dari Daftar RUU Prioritas 2022 yakni RUU KUHP dan RUU P2SK. Ada 4 RUU lainnya merupakan RUU Kumulatif Terbuka, yakni terkait dengan ratifikasi perjanjian antara Pemerintah RI dengan negara lain dan RUU Provinsi.
“Tuntasnya 2 RUU Prioritas 2022 pada MS II menjadi momentum terakhir bagi DPR untuk membuktikan upaya mereka dalam mengejar target RUU Prioritas 2022 yang seluruhnya berjumlah 37 RUU. Tambahan 2 RUU tersebut menjadikan koleksi UU baru yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022 berjumlah 15 RUU,” jelasnya.
Dari 15 RUU itu hanya 9 RUU yang disahkan DPR sepanjang tahun 2022, sedangkan 6 RUU lainnya sudah disahkan DPR di akhir tahun 2021. Penuntasan 2 RUU Prioritas pada MS II ditandai dengan kemunculan kontroversi atas sejumlah Pasal RKUHP.
“Kalangan masyarakat sipil menyoroti sejumlah pasal di dalam KUHP baru yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Ketentuan mengenai “living law” pada Pasal 2, Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden pada Pasal 218 & 219, dan juga Pasal 240 dan 241 sekadar menyebutkan beberapa pasal yang dianggap sebagian kalangan berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam tataran penerapannya,” jelasnya.
Kontroversi-kontroversi yang muncul setelah pengesahan ini sesungguhnya sudah lama disuarakan masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi pengaturan terhadap pasal-pasal kontroversial itu.
Baca Juga: Formappi: DPR Lebih Pentingkan Pemerintah dan Parpol Ketimbang Rakyat
“Rumusan akhir yang tidak memperlihatkan perubahan mendasar pada pasal-pasal kontroversial itu memperlihatkan kualitas partisipasi publik dalam proses pembahasan legislasi masih belum maksimal,” katanya.
Ditambahkan bahwa DPR memang mengundang perwakilan masyarakat dalam proses pembahasan RUU, hanya saja masukan publik yang paling penting justru diabaikan. Partisipasi publik pun cenderung formalitas saja.
“Selain pengesahan 6 RUU pada MS II, DPR juga memutuskan perpanjangan pembahasan 2 RUU yakni RUU ASN dan RUU Landas Kontinen. DPR juga memutuskan 8 RUU tentang Provinsi menjadi RUU Inisiatif DPR,” katanya.
Pada MS II, DPR juga menyetujui 39 RUU Prioritas 2023, yang terdiri atas 24 RUU diusulkan DPR RI, 12 RUU usulan pemerintah, dan tiga RUU diusulkan DPD RI.
“Setelah hanya mampu mengesahkan 15 dari 37 RUU pada 2022, jumlah 39 RUU Prioritas 2023 nampaknya terlalu bombastis. Apalagi kesibukan anggota DPR dan Fraksi terkait Pemilu 2024 akan semakin intens pada 2023. Target Prolegnas yang justru bertambah menjadi 39 RUU tampak hanya untuk mengakomodasi usulan dari berbagai pengusul baik di DPR, Pemerintah dan DPD,” tuturnya.
Baca Juga: IPC Nilai Dua RUU Masih Alot dalam Pembahasan di DPR
Albert menambahkan bahwa revisi juga dilakukan DPR atas Daftar Prolegnas 2020-2024 yang sebelumnya berjumlah 254 menjadi 257 RUU. Revisi kali ini merupakan perubahan Prolegnas keempat kalinya.
“Perubahan rencana tentu saja boleh dilakukan tetapi mengingat sempitnya waktu menuju usainya masa jabatan DPR, rasanya perubahan untuk menambah jumlah RUU Prolegnas merupakan sebuah kekeliruan. Rencana yang sudah ada sejak awal saja sangat sedikit yang bisa diselesaikan, apalagi jika rencananya ditambah lagi,” katanya.