Home Info Sawit Tujuh Desa di Kutim ini Ogah Merekom HGU PT NIKP, Ini Sederet Alasannya

Tujuh Desa di Kutim ini Ogah Merekom HGU PT NIKP, Ini Sederet Alasannya

Kutim, Gatra.com - Bisa jadi sebulan belakangan wajah Hadi Setiadarma Ho selalu nampak muram. Surat yang dia layangkan kepada tujuh kepala desa di Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), pada 15 Desember 2022 lalu menjadi musababnya.

Pada surat bernomor 007/DIR/NIKP/JKT/XII/2022 itu, Direktur PT Nusa Indah Kalimantan Pantations (NIKP) ini meminta tujuh kepala desa tadi mendukung rencana perusahaan asing asal Singapura ini mengurus Hak Guna Usaha (HGU) nya.

Tapi sayang, lewat selembar surat pada 11 Januari 2023 lalu, ketujuh kepala desa itu menolak mentah-mentah permintaan itu.

"Sudah terlalu lama perusahaan ini enggak jelas. Dari hampir 10 tahun lalu kami diiming-imingi kebun plasma, tapi sampai sekarang tak jelas juntrungannya," kata Kepala Desa Manunggal Jaya, Marino, kemarin.

Baca juga: Ratusan Hektare Lahan Transmigrasi Di Kutai Timur Dicaplok Perusahaan Sawit Asing, Warga: Tolong Kami Pak Jokowi! 

Lahan plasma yang dijanjikan perusahaan kata Marino seluas 1.062 hektar. Tapi lahan itu entah dimana letaknya dan tak tahu kapan akan dibagikan.

Sebagai tanda bahwa lahan plasma itu ada, perusahaan memang telah mengucurkan duit kepada masyarakat. Kadang warga dapat Rp1 juta per empat bulan.

"Tapi dalam penjelasannya uang itu belum uang hasil produksi plasma itu, tapi dana talangan. Ini yang membuat kami merasa aneh," rutuk Mahmud Halim pula.

Keanehan tadi pun menambah daftar panjang keanehan yang sudah ada. Sekretaris Desa Tanjung Labu ini kemudian menyebut bahwa Koperasi Plasma Sari yang selama ini dijadikan perusahaan untuk urusan duit hasil kebun kepada warga, sampai hari ini tak jelas rimbanya.

Selain tidak pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT), saat akan memberikan duit kepada warga, koperasi tidak pernah membikin rincian asal-usul besaran duit yang diterima warga itu.

Padahal, selain menggarap lahan-lahan redist tadi, perusahaan juga menggarap Lahan Usaha-2 (LU-2) milik warga yang total luasnya mencapai 1.227 hektar. Belum lagi tanah redistribusi yang mencapai 1.250 hektar. Kalau ditotal semua, lahan milik warga ini mencapai 2.477 hektar.

Pokoknya, kalau ada duit yang mau dibagikan, bendahara koperasi hanya menyuruh warga datang mengambil uang. Enggak ada rincian apapun. Kecurigaan kalau di tubuh koperasi ada yang tak beres, pun muncul.

Baca juga: Cuma Modal Ijin Lokasi, Ribuan Hektar Kebun Sawit Perusahaan Asing ini Sudah Berumur Lebih 10 Tahun

"Ketidakjelasan koperasi ini jugalah yang menjadi salah satu alasan penolakan dukungan pengurusan HGU perusahaan itu," terang lelaki 38 tahun ini.

Bagi Marino sendiri, alasan dia menolak surat dukungan pembuatan HGU perusahaan tadi justru lebih panjang lagi.

"Sampai sekarang hampir 200 hektar tanah yang menjadi hak warga, masih dikuasai perusahaan. Sekitar 152 hektar ditanami kelapa sawit, 20-25 hektar dipakai untuk perkantoran dan perumahaan perusahaan (emplasmen)," rinci lelaki 40 tahun ini.

Gara-gara itu pulalah kata ayah tiga anak ini, sewaktu perusahaan memohon rekomendasi pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) komplek itu pada 2020 lalu, Marino menolaknya.

"Wong tanah itu hak warga kok. Jadi, walau sudah lama berdiri, sampai sekarang komplek itu belum punya IMB," katanya.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutim sendiri mengakui kalau lahan tadi adalah lahan redistribusi Desa Manunggal Jaya.

Ini kelihatan dari surat Kepala BPN Kutim masa itu, Umar Malabar Kepada Kepala Desa Manunggal Jaya pada 26 September 2019 lalu yang mengatakan bahwa lahan itu telah dikeluarkan dari lokasi yang dimohonkan perusahaan untuk dijadikan HGU.

Pada 2007 silam, Bupati Kutim yang saat itu dijabat oleh Awang Faroek Ishak memberikan Izin Usaha Perkebunan kepada PT. NIKP di atas lahan seluas 17.259 hektar di Kecamatan Rantau Pulung.

Lahan itu tersebar di Desa Rantau Makmur, Mukti Jaya, Kebun Agung, Margo Mulyo, Pulung Sari, Tanjung Labu dan Manunggal Jaya. Semua desa ini adalah wilayah transmigrasi.

Berdasarkan surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 22 April 2013 yang didapat oleh Gatra.com, disebutkan bahwa pada 1996, Kementerian Agraria memberikan Hak Penggunaan Lahan (HPL) kepada Departemen Transmigrasi seluas 16.200 hektar.

Lebih dari 8000 hektar kemudian terpakai oleh tujuh unit transmigrasi yang kini telah berubah menjadi tujuh desa.

Di surat yang diteken oleh Muhaimin Iskandar itu kemudian disebutkan bahwa hampir 3000 hektar lahan itu dikembalikan kepada Kementerian Agraria. Ada embel-embel NIKP di surat itu.

Kalau merujuk pada surat Direktur NIKP kepada Bupati Kutim pada 28 Januari 2013, di surat itu dijelaskan bahwa perusahaan telah menanami lahan KBNK dan HPL seluas 5.136 hektar. Ini diluar lahan redistribusi dan LU-2.

Bagi praktisi hukum dan juga Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit, semestinya ijin lokasi-ijin usaha perkebunan tidak boleh diberikan di lahan yang sudah dibebani hak. Termasuk Hak Pengelolaan Lahan (HPL) tadi.

"Apa sih ijin lokasi itu? Itu kan izin yang membolehkan satu subjek atau orang masuk ke areal tertentu untuk tujuan tertentu yang tidak dibebani hak. Tapi lantaran tidak singkronnya antara pusat dan daerah, sering terjadi tumpang tindih," katanya.

Lebih jauh Samuel menyebut, HPL itu memang tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) meski yang mengeluarkan HPL itu pemerintah juga.

"Di pasal 21 UUPA disebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu adalah hak milik, HGU, HGB dan lainnya. Tapi tidak disebut HPL. HPL ini baru muncul pada tahun 1996, dan itu diakui," terangnya.


Abdul Aziz