Sitaro, Gatra.com - Gema semangat budaya Muliku Wanua serta upacara adat Tulude masih melekat kuat di kehidupan warga masyarakat Kepulauan Tagulandong.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) pun mendorong agar kegiatan Muliku Wanua dan Tulude di wilayah Tagulandang terlaksana dengan meriah.
Pada hari Minggu (22/1) nampak berbaur dengan masyarakat, pada tokoh dan jajaran pemimpin yang ada di Pemkab Sitaro.
Selain Bupati Evangelian Sasingen, nampak pula Wakil Bupati John Palandung, Sekretaris Daerah Denny Kondoj, para Asisten Sekda, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dolly Polimpung, dan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Tidak ketinggalan pula para pemangku adat serta camat se-Kabupaten Sitaro ikut bergabung. Mereka kompak menjaga warisan dan mempertahankan nilai-nilai leluhur.
Budaya Muliku Wanua adalah salah satu budaya masyarakat yang ada di Pulau Tagulandang dan dilaksanakan setiap tahun.
‘’Budaya ini, merupakan suatu ajang silahturahmi antar sesama masyarakat dalam menyambut dan menjalani tahun yang baru dengan berjalan mengelilingi Pulau Tagulandang," kata John Palandung kepada Herywan Kasiahe dari GATRA.
Muliku Wanua merupakan sebuah tradisi mengelilingi pulau dengan berjalan kaki yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun.
Sementara Tulude merupakan upacara adat tahunan yang diwariskan leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) berisi upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkah yang sudah diberikan sepanjang setahun yang lalu.
Secara harafiah Tulude artinya kegiatan meluncurkan atau melepaskan sesuatu dari ketinggian ke bawah. Kata tersebut kemudian mengalami perluasan makna.
Bagi masyarakat Nusa Utara artinya mendorong atau melepaskan tahun yang sudah dilalui dengan kesiapan menerima tahun yang baru.
Saat upacara Tulude selain menyampaian doa-doa untuk keselamatan seluruh warga juga ditandai dengan pelepasan perahu kecil di tepai pantai. Perahu dibuat dari kayu latolang, yaitu kayu dari pohon yang tumbuh lurus tinggi tak bercabang.
Penghanyutan perahu ke laut sebagai simbol bahwa berbagai hal yang buruk di tahun yang akan datang dibuang, agar tidak menimpa warga saat mengarungi hidup di tahun yang baru.
Jika perahu yang dihanyutkan terbawa arus dan terdampak di pantai, maka warga yang menemukan wajib menolak dengan menghayutkan kembali ke laut.
Apabila orang tersebut tidak melakukannya maka ‘’dipercaya’’ semua malapetaka atau sakit yang pernah dialami warga masyarakat asal perahu itu akan berpindah ke tempat di mana perahu itu terdampar.
Dalam kesempatan tersebut Sekretaris Daerah Kab. Kep. Sitaro Denny Kondoj menyampaikan bahwa baik Muliku Wanua maupun acara adat Tulude telah dipersiapkan dengan matang.
Pada berbagai acara adat akan diisi pula dengan pementasan kesenian daerah yang ada.
Saat Muliku Wanua, warga berkeliling pulau dengan berjalan kaki, mereka akan bertegur sapa, menjalin keakraban sebagai saudara, dan saling menyampaikan harapan yang baik, satu dengan yang lainnya.
Acara menjadi semakin semarak karena warga secara serentak berbaur untuk melakukan sejumlah gerakan tarian dengan formasi melingkar dan juga membuat kelompok-kelompok untuk bernyanyi bersama.