Home Hukum Soal Demoralisasi Birokrasi, Pengamat Soroti Pelemahan Mesin Anti-Korupsi

Soal Demoralisasi Birokrasi, Pengamat Soroti Pelemahan Mesin Anti-Korupsi

Jakarta, Gatra.com - Pengamat dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menyoroti adanya pelemahan mesin anti-korupsi. Umam mengatakan, pelemahan itu seakan memfasilitasi demoralisasi birokrasi dan pejabat publik. Menurutnya, pelemahan itu juga kerap menjadi perhatian bagi para aktivis di Tanah Air.

"Artinya apa? Ada zona nyaman yang kembali terbangun, ada rasa tidak takut lagi [akan] adanya kemudian kekuatan yang siap untuk meng-capture mereka," ujar Ahmad Khoirul Umam dalam diskusi Paramadina Democracy Forum Seri ke-8: Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi, Rabu (15/3).

"Kenapa? Karena sel-sel anti-korupsi itu sudah secara efektif dikooptasi oleh kepentingan tertentu, yang bisa dimanfaatkan untuk menghantam atau mengamankan pihak-pihak tertentu sesuai dengan selera kekuasaannya itu," imbuhnya.

Umam pun menilai, hal tersebut menjadi cukup problematik. Ia mengatakan, hal itu dibuktikan dari sejumlah survei lintas lembaga yang menunjukkan adanya penurunan atas tingkat kepuasan publik terhadap lembaga antirasuah di Indonesia.

"Ketika, misal, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sekarang ditunjukkan ya, dari berbagai survei lintas lembaga, approval rate-nya (tingkat kepuasan publiknya) turun signifikan. Kemudian, fungsi pengawasan yang lain, [seperti] BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," ujar Umam dalam kesempatan itu.

Menurutnya, fungsi-fungsi itu kerap mendapatkan intervensi politik yang sangat kuat untuk mengambil langkah tertentu, seperti menyerang atau bahkan mengamankan suatu pihak. Umam menyebut, intervensi semacam itu tak diantisipasi dalam teori neo-liberalisme terkait dengan konsep pemerintahan yang baik (good governance).

"Dipikirnya, good governance itu akan berjalan secara teknokratik, akan profesional berjalan. Tidak," katanya.

Oleh karena itu, Umam memandang penting bagi Indonesia untuk melakukan refleksi sekaligus revolusi mental. Menurutnya, revolusi mental tak seharusnya hanya dimaknai sebagai sebuah upaya untuk menghantam kekuatan tertentu yang tidak sesuai narasi kepentingan kekuasaan.

"Revolusi mental secara substansi tetap harus dihadirkan di dalam konteks kebijakan publik. Nyambung enggak, kebijakan publik itu dengan pelayanan yang dirasakan masyarakat sehari-hari? Kalau nyambung, syukur alhamdulillah, tapi kalau enggak nyambung ya lagi-lagi kita bermain di ranah gimmick. Jangan sampai berhenti di situ," tutur Umam dalam kesempatan itu.

151