Jakarta, Gatra.com - Indonesia menjadi surga dari perusahaan rintisan atau startup di Asia dan dunia. Laporan Startup Ranking pada 2022 menyatakan, Indonesia berada di urutan kelima besar dengan jumlah startup terbanyak di dunia dengan 2.346 startup di dalam negeri. Peringkat teratas negara dengan jumlah startup terbanyak, yakni Amerika Serikat (AS) disusul India, Britania Raya, dan Kanada.
Raksasa startup Indonesia yang masuk dalam kategori decacorn atau perusahaan yang modal venturanya mencapai US$10 miliar atau di atasnya, yakni Gojek dan Tokopedia (GoTo) dan J&T Express. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah perusahaan unicorn atau perusahaan yang modal venturanya mencapai US$1 miliar atau di atasnya, di antaranya OVO, Bukalapak, Traveloka, Xendit, Ajaib, dan Kopi Kenangan.
Sejumlah startup tersebut dibiayai oleh Venture Capital (VC) atau perusahaan yang memberikan modal pinjaman kepada perusahaan rintisan untuk membantu mengembangkan bisnis startup tersebut dalam pendanaan awal dan lanjutan. Managing Director and Principal Consultant dari Precious Communications, Lars Voedisch mengatakan, geliat bisnis startup di Indonesia telah membuat perusahaan modal ventura berlomba-lomba menyuntik pendanaan.
Indonesia menurutnya menjadi negara target bagi investor yang ingin menanamkan modalnya untuk perusahaan teknologi publik. “Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia di mana peredaran uang VC (Ventura Capital) sangat mudah karena setiap VC yang berinvestasi di Asia Tenggara selalu masuk ke Indonesia,” ujar Lars.
Perusahaan rintisan yang ada di Indonesia tidak semata bergerak di sektor layanan transportasi dan logistik tetapi juga layanan makanan dan minuman (F&B). “Di sini (Indonesia), Anda punya orang Amerika, Korea Selatan, Cina, yang memompa uang untuk bisnis. Uang VC beredar cepat secara global terutama di Indonesia,” ucap Lars yang juga praktisi komunikasi dan bisnis itu.
Secara umum, perusahaan modal ventura yang menyuntikkan modalnya untuk startup memiliki rencana dan proyeksi jangka panjang. Karena itu, ada tahapan investasi untuk pendanaan awal dan pendanaan lanjutan. “Secara umum, ekosistem global didorong oleh waktu berinvestasi dan proses bisnis jangka panjang. Setiap orang ingin model bisnis yang berkelanjutan dan bisnis yang lebih menguntungkan,” kata Lars.
Dalam mendukung aktivitas pendanaan dan merger & akuisisi (M&A), penting bagi investor memahami siklus bisnis dan periode pertumbuhan. “Investor ingin bisnis tumbuh dan seimbang, bagaimana mereka ingin untung. Jadi, mereka memperhatikan pasar dan pertumbuhan sehingga bisa mengejar ketertinggalan dan bisa mendapatkan keuntungan lebih awal,” ucapnya.
“Lihatlah bagaimana Uber yang secara global tumbuh dan punya profitabilitas. Juga ada Sea Garena yang menjadi investasi menarik,” katanya. Sejumlah perusahaan modal ventura menurutnya juga punya reputasi yang baik di kancah global. Mereka membangun jejaring dan menghubungkannya dengan orang-orang yang membangun unicorn. “Selama bertahun-tahun investor hanya menginginkan pertumbuhan, mereka menginginkan pangsa pasar, dan mereka menginginkan profitabilitas,” ia menambahkan.
Baca juga: Pakar Precious Communications Beberkan Penyebab Tech Winter dan Fenomena Layoff Startup
Lars menyebut, kesuksesan startup sangat tergantung pada perencanaan bisnis. Ia mencontohkan sejumlah startup yang kini mengandalkan kemampuan Artificial Intelligence (AI) dan beberapa di antaranya mulai memperhatikan rantai pasok atau distribusi. Amazon menjadi raksasa e-commerce global karena memiliki rantai pasok dan logistik yang kuat.
“Masalahnya jika Anda berpindah dari platform e-commerce ke logistik, bisnis akan lebih banyak berubah, karena logistik adalah padat modal. Jadi, menurut saya bukan fenomena di Indonesia saja, banyak perusahaan menghentikan (mengadaptasi) logistiknya dan lebih sukses dari yang lain,” Lars menjelaskan.
Di sisi lain, di Indonesia terdapat sejumlah perusahaan distribusi yang memiliki rekam jejak baik seperti J&T Express. “Jika Anda melihat secara global, Amazon menguntungkan karena mereka memiliki sistem logistik sendiri dan mereka dapat meningkatkannya. Pemain murni platform e-commerce seperti Lazada atau Shoppee sulit menyesuaikan diri dan memenangkan pasar,” paparnya.
Di tengah tantangan tech winter dan fenomena layoff yang dihadapi sejumlah startup, Lars meyakini pertumbuhan startup sekarang lebih moderat dibandingkan sebelumnya. “Apa yang kita lihat sekarang lebih baik dari 2001-2002 jika Anda melihat ekonomi internet runtuh dan sekarang lebih moderat. Kita menyadari jika ingin berinvestasi secara global di startup, kita tidak bisa menjauh dari Asia Tenggara, kita harus membangunnya di Indonesia”.
Karena itu, ia berkeyakinan perusahaan modal ventura global masih akan membidik Indonesia sebagai surga investasi. Lars mencontohkan bagaimana GoTo dapat tumbuh mengembangkan pendanaan, membangun merger dan menjadi benchmark decacorn terbaik di Indonesia saat ini. “Saya pikir GoTo adalah perusahaan yang menarik karena mereka benar-benar lahir dan berkembang di Indonesia. Itu adalah model bisnis yang sangat menarik karena mereka melahirkan ide untuk hal yang benar. Bukan sekedar meniru model bisnis orang lain tapi juga melihat apa yang unik di Indonesia,” pungkasnya.