Jakarta, Gatra.com – Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, mengatakan, kebijakan terbaru International Finance Corporation (IFC) merupakan peringatan keras bagi lembaga keuangan yang masih mengeluarkan uang publik untuk mendanai proyek energi kotor batubara.
Andri di Jakarta, Jumat (14/4), menyampaikan, butuh perjuangan panjang akhirnya IFC menyatakan sikapnya untuk mengehentikan mendanai proyek batubara baru di berbagai negara tujuan setelah terlambat lebih dari tujuh tahun sejak Perjanjian Paris.
“Akhirnya IFC mengambil langkah signifikan untuk menutup celah kebijakan mereka yang masih memungkinkan dukungan pada proyek batubara baru,” ujarnya.
Ia menjelaskan, IFC baru-baru ini mengumumkan kebijakannya setelah mendapat tekanan kuat dari kelompok masyarakat sipil global agar menyelaraskan portofolionya dengan Perjanjian Paris.
Keputusan teranyar IFC tersebut mengalulir kebijakan sebelumnya, yakni masih mengizinkan klien perantara keuangannya, seperti bank komersial, untuk mendukung proyek batubara baru asalkan bank tersebut keluar dari portofolio proyek batubara pada 2030.
Ia menyebutkan, sejak Mei 2019 lalu, IFC telah menggelontorkan pembiayaan investasi sebesar hampir US$40 miliar untuk berbagai klien perantara keuangan, salah satunya bank yang mendanai beberapa proyek PLTU baru di Jawa dan Banten.
Andi menegaskan, jika ingin menyelaraskan seluruh portofolionya dengan Perjanjian Paris, IFC juga harus menghentikan pendanaan energi fosil lainnya, seperti minyak dan gas fosil.
“GEA seharusnya digunakan hanya untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan,” ujarnya.
Climate and Energy Manager Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono, menegaskan, dengan komitmen IFC terbaru tersebut harusnya bank yang menjadi perantara keuangnnya harus menarik pembiayaan proyek PLTU.
“Segera menarik pendanaan mereka di salah satu proyek energi kotor batubara terbesar yang masih tersisa,” katanya.
Pembangunan PLTU selain tidak selaras dengan komitmen pemerintah, juga memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat di sekitar PLTU.
“Kesehatan warga kami menjadi taruhan dan ini tidak bisa dibiarkan,” kata Mad Haer Effendi, Dir. Pena Masyarakat.