Jakarta, Gatra.com – Trend Asia dan CREA menilai kebijakan transisi energi pemerintah Indonesia ambigu dan inkonsisten. Penilaian tersebut berdasarkan kajian dari kedua organisasi tersebut bertajuk “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia”.
Research and Senior Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo, di Jakarta, Kamis (4/5), menyampaikan, kebijakan pemerintah soal transisi energi ini masih jauh belum memadai dan memiliki sejumlah catatan.
Saat ini, kata dia, mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30%, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69%.
Andri mengungkapkan, kondisi tersebut membebani keuangan PLN yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.
Menurutnya, untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan energi demi memenuhi target 1,5o C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pemensiunan dini PLTU batubara.
Alih-alih menuntaskan, kata Andri, pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batubara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut,34% di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batubara dan 14% 5,8 GW dari gas dan diesel.
Ia mengungkapkan, rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai “RUPTL hijau”, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa mendatang, 50 persen di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan akan “melarang dan membatalkan” PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021–2030.
Di sisi lain, PLN malah mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.
“Berdasarkan temuan kami, komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi ‘baru’ tapi berpotensi menjadi solusi palsu,” ujar Jobit Parapat, Southeast Asia Researcher Crea.
Jobit menyampaikan, pihaknya menilai itu tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia. Solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau clean coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan.
Ia menyampaikan, pihaknya menilai bahwa solusi-solusi tersebut berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan dari energi bersih seperti surya dan angin. Proyek co-firing ammonia, biomassa, CCUS, dan clean coal juga berpotensi dijadikan alasan untuk menunda penghapusan listrik batubara.
“Peralihan dari batubara ke gas berpotensi menaikan harga listrik negara menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar,” ujarnya.
Andri menambahakan, tidak seperti batubara, peningkatan pembangkitan gas fosil akan memerlukan impor atau membangun infrastruktur hulu dan tengah, sehingga akan menjadi pilihan yang mahal karena produksi baru akan membutuhkan biaya wellhead yang lebih tinggi.
Strategi lain yang digunakan PLN dalam RUPTL 2021–?2030 adalah co-firing biomassa, tapi strategi ini tak akan memenuhi angka penurunan emisi gas rumah kaca karena porsi biomassa untuk bahan bakar hanya 1–5% dan 95% sisanya masih menggunakan batubara.
Selain itu, kata Andri, permintaan biomassa ini menyebabkan penebangan pohon berlebihan yang justru memicu emisi tambahan dari deforestasi atau pembukaan lahan baru.
Sama halnya dengan co-firing, kata dia, Strategi Clean Coal Technology (CCT) yang didorong oleh pemerintah Indonesia tidak menjamin berkurangnya emisi. PLTU dengan CCT masih memancarkan CO2 dan polutan beracun, seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan particular matter (PM).
Asosiasi Batubara Dunia (World Coal Association) memperkirakan perlu US$31 miliar untuk meningkatkan PLTU 400 GW dengan teknologi terbaik, tapi ini hanyalah sebagian kecil dari dampak kesehatan dan ekonomi yang dihasilkan oleh polusi pembangkit sepanjang masa investasi energi bersih sebesar US$ 2,4 triliun.
“Pemerintah berani memasang target yang ambisius, tetapi ragu-ragu dalam implementasi dan lemah dalam berkomitmen,” kata Andri.
Pihaknya menilai demikian, lanjut Andri, karena pemerintah perlu menyesuaikan rencana kebijakan. Semua PLTU baru harus dibatalkan, termasuk yang statusnya masih mengambang dalam moratorium. PLTU tua juga harus segera dipensiunkan, dan rencana pensiunnya harus transparan bagi publik.
Di saat yang sama, Jobit menambahkan, solusi palsu dan energi fosil yang lain juga harus dihindari dalam rencana pemerintah. Daripada itu, pemerintah harus lebih berfokus penerapan teknologi energi surya dan angin.
“Selama pemerintah belum berani tegas, ambisi transisi ini akan jauh panggang daripada api,” ujar Jobit.