Jakarta, Gatra.com – PT Asuransi MSIG Indonesia (MSIG Indonesia) aktif memberikan edukasi pelestarian lingkungan kepada anak-anak sekolah dasar melalui program Biodiversity Fun Class (BDFC) dan Penanaman Bakau.
Presiden Direktur (Presdir) MSIG Indonesia, Shikato Takeuchi, dalam keterangan pers, Minggu (21/5), menyampaikan, ini merupakan implementasi dari kampanye proyek berkelanjutan pihaknya.
“Kami sangat peduli terhadap keberlanjutan. Kami berkontribusi terhadap masa depan bumi dengan melakukan hal-hal kecil yang berdampak bagi masyarakat, salah satunya melalui Biodiversity Fun Class,” katanya.
Ia mengungkapkan, pihaknya menggandeng Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) melaksanakan program tersebut.
Ia menjelaskan, GNOTA bertindak sebagai penasihat pihaknya untuk menentukan sekolah mana yang cocok untuk kampanye serta cara terbaik untuk berkomunikasi dengan para siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda agar pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Sedangkan untuk kegiatan BDFC, lanjut Shikato, pihaknya menyelenggarakannya di tiga sekolah dasar, yaitu SDN Rancagong 01 Tangerang, SDN Grogol Selatan 05 Jakarta, dan SDN Karang Tengah 05 Bogor pada Februari hingga Maret tahun ini.
“Sedangkan penanaman bakau dilaksanakan di Desa Pantaibahagia, Kabupaten Muara Gembong, Bekasi,” katanya.
Mengutip informasi dari Yayasan Sentral Rehabilitasi Mangrove (SRM), keberadaan hutan bakau di pesisir pantai di daerah tersebut terus mengalami penyusutan dan kerusakan akibat seringnya terjadi abrasi.
Saat ini, kata Shikato, hutan bakau di Kecamatan Muara Gembong tersisa sekitar 600 hektare dari kondisi sebelumnya seluas 10.481,15 hektare dan hampir 350 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.
Guna menyelamatkan daerah tersebut dari kerusakan lebih lanjut, kata dia, pihaknya menyumbangkan 5.000 pohon bakau untuk ditanam. Kegiatan ini merupakan bagian dari perjalanan perusahaan untuk mencapai net-zero carbon emissions pada tahun 2050.
Ia menjelaskan, langkah tersebut guna menahan laju perubahan iklim dengan melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati melalui berbagai inisiatif, tidak hanya untuk masa depan Bumi, tetapi juga untuk kita dan generasi yang akan datang.
Terlebih lagi, kata dia, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), satu juta spesies terancam punah akibat aktivitas manusia, seperti perusakan habitat, eksploitasi berlebihan, dan perubahan iklim.
Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menimbulkan konsekuensi yang parah, seperti menurunnya produktivitas ekosistem, berkurangnya daya tahan terhadap tekanan lingkungan, dan berkurangnya kemampuan untuk menyediakan beragam kebutuhan ekosistem, seperti udara dan air bersih.
Adapun Kesehati, kata dia, mempersiapkan 41 karyawan yang menjadi sukarelawan sebagai pengajar untuk mendampingi total 172 siswa kelas 5 SD, yang dibekali dengan memberikan pengetahuan melalui lokakarya.
Melalui kegiatan interaktif seperti story-telling tentang keanekaragaman hayati dan melakukan percobaan sains sederhana bertajuk "Dampak Efek Gas Rumah Kaca" dan "Dampak Gletser yang Mencair", anak-anak belajar mengenai dampak perubahan iklim terhadap lingkungan dan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang.
Menurutnya, aksi tersebut sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, khususnya Tujuan ke-15: Kehidupan di Darat, yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan, dan mendorong pemanfaatan ekosistem darat secara berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, serta menghentikan dan membalikkan degradasi lahan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Ketua GNOTA, Gendis Siti Hatmanti, mengatakan, kegiatan Biodiversity Fun Class sangat bagus dan bermanfaat untuk anak-anak karena mengajarkan mereka bagaimana cara menjaga lingkungan dan membuat mereka lebih peduli untuk menjaga kelestarian Bumi.
MSIG Indonesia menyadari sejak tahap awal upaya ini bahwa banyak sekolah di daerah perdesaan mungkin tidak memiliki akses ke sumber daya dan kesempatan yang sama dengan sekolah di daerah perkotaan.
Dengan mengadakan kelas ini di sekolah-sekolah di daerah perdesaan, anak-anak yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk belajar tentang pelestarian keanekaragaman hayati akan dapat dijangkau, terlepas dari lokasi atau status ekonomi mereka.
“Mereka berhak mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas tentang pelestarian lingkungan,” katanya.
Wakil Presiden Direktur (Presdir) MSIG Indonesia, Bernardus P. Wanandi, mengatakan, hutan bakau menyimpan karbon biru yang dapat menyerap emisi gas rumah kaca, sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Selain itu, hutan bakau tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga untuk masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar ekosistem hutan bakau. Dengan menanam dan melestarikan hutan bakau, diharapkan dapat mengantisipasi dan mengurangi dampak perubahan iklim yang menjadi perhatian utama pihaknya.
Ia mengungkapkan, perubahan iklim memperparah hilangnya keanekaragaman hayati dengan mengubah kondisi fisik dan kimiawi ekosistem, seperti suhu, curah hujan, dan kenaikan permukaan air laut.
Kegiatan penanaman ini didukung oleh Yayasan Sentral Rehabilitasi Mangrove (SRM), sebuah lembaga non-profit lokal yang berfokus pada pelestarian lingkungan, khususnya rehabilitasi hutan bakau.
Program tersebut bertujuan untuk memulihkan habitat hutan bakau yang sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, melindungi garis pantai, dan memitigasi perubahan iklim.
Pembina Yayasan SRM, Imanuel Iman, menyampaikan, sudah terjadi kerusakan yang sangat masif di Muara Gembong. Sejumlah 940 hektare lebih daratan sudah tergerus oleh laut. Tanah yang dulunya daratan kini telah menjadi lautan.
“Itulah yang melatarbelakangi mengapa kami memilih untuk melakukan upaya rehabilitasi di lokasi ini,” kata Iman.
Selain itu, penanaman yang pihaknya lakukan juga memiliki fungsi lain, tidak hanya untuk merehabilitasi mangrove tetapi juga membantu masyarakat sekitar yang kehilangan mata pencaharian.
“Pertama, bibit yang ditanam berasal dari masyarakat. Kedua, dari perawatan mangrove yang kami berikan setiap bulannya,” ujar dia.
Kemudian, masyarakat sekitar juga dapat penghasilan dari kegiatan penanaman bersama pihak luar, seperti fasilitas perahu, juga makanan untuk pengunjung yang melakukan penanaman.
Iman mengatakan bahwa Yayasan SRM memiliki visi yang sama dengan MSIG Indonesia terkait dengan isu perubahan iklim. “Hutan bakau bisa membantu mengurangi pemanasan global karena memiliki kemampuan menyerap karbon empat kali lebih banyak dari hutan tropis,” katanya.
Pada hutan tropis, saat daun dan ranting jatuh, terjadi pelepasan karbon. Sementara di hutan bakau, ketika ranting dan daun jatuh, ia akan tetap tertahan di dalam air. “Di situlah mengapa hutan bakau memiliki kemampuan menyerap karbon empat kali lebih tinggi dari hutan tropis,” katanya.