Home Hiburan Sudamala: Dari Epilog Calonarang Bakal Dipentaskan di Pura Mangkunegaran Solo

Sudamala: Dari Epilog Calonarang Bakal Dipentaskan di Pura Mangkunegaran Solo

Jakarta, Gatra.com – Lakon Sudamala: Dari Epilog Calonarang bakal kembali dipentaskan setelah tahun lalu sukses membius para penonton di Jakarta. Kali ini, Sudamala: Dari Epilog Calorang bakal dipentaskan di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah (Jateng).

Produser acara Sudamala, Nicholas Saputra dan Happy Salma, dalam keterangan pers diterima pada Kamis (25/5), menjelaskan, pementasan kali ini bertitel “Satu dalam Cita.”

Happy Salma menjelaskan, “Satu dalam Cita” merupakan rangkaian acara selama tiga hari, mulai dari 23 –25 Juni 2023, terdiri dari pertunjukan “Sudamala: Dari Epilog Calonarang” pada 24 dan 25, Pasar Kangen (23-25), Royal Heritage Dinner (23-25), serta kegiatan kebudayaan lainnya.

Baca Juga: Pementasan Sudamala Bawakan Pesan Kedekatan Manusia dan Alam Semesta

Happy mengungkapkan, Titimangsa kembali akan mementasakan Sudamala karena penampilan di Jakarta tahun lalu berlangsung sukses dan memiliki nilai pertunjukan yang relevan dengan konteks saat ini.

“Kami sepakat untuk dapat kembali menyelenggarakan pertunjukan Sudamala di Solo, tepatnya di Pura Mangkunegaran,” kata Happy Salma.

Sedangkan pemilihan Pura Mangkunegaran, Solo, sebagai tempat pegelaran, lanjut Nicholas Saputra, pihaknya menilai lokasi tersebut sangat ideal karena memiliki nilai sejarah yang tinggi dan sangat terbuka untuk menerima berbagai bentuk kebudayaan yang beragam dan dari wilayah yang berbeda.

Ia menjelaskan, pihaknya telah lama menjalin komunikasi dengan pihak Mangkunegaran, serta menggandeng sejumlah pihak lainnya yang mempunyai kepedulian tentang nilai keberagaman dan kolaborasi di Nusantara ini, untuk mementaskan Sudamala dan berbagai acara lainnya di Pura Mangkunegaran.

Dalam konteks historis, spirit keberagaman dan kolaborasi itu terlihat jelas dari adanya hubungan erat antara kebudayaan Jawa dan Bali yang bahkan telah dirintis sejak 1929 oleh Tjokorda Gde Raka Sukawati, yang kala itu beranjangsana ke Solo untuk mengikuti Kongres Java Instituut kelima dan menyampaikan orasi tentang kebudayaan Bali.

“Pada prinsipnya, masyarakat Jawa dan Bali berasal dari akar (roots) yang sama. Di Mangkunegaran sendiri, di era Eyang Buyut saya, KGPAA Mangkunegara VII, banyak sekali dibangun hubungan kebudayaan dengan kerajaan-kerajaan di Bali pada sekitar tahun 1930-40-an,” kata KGPAA Mangkoenagoro X.

Ia menjelaskan, pihaknya melihat masa lalu bukan hanya sebagai kenangan, tetapi fondasi untuk masa kini dan masa depan. Pementasan Sudamala yang berkolaborasi dengan Titimangsa bersama para maestro dan seniman dari Bali ini, merupakan bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali hubungan kebudayaan antara Mangkunegaran dan Bali.

“Hal ini juga selaras dengan visi kami untuk menjadikan Mangkunegaran sebagai wadah kebudayaan dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia. Mangkunegaran adalah tempat untuk merayakan kebudayaan dan menunjukkan bahwa keberagaman justru menguatkan ikatan kita satu dengan lainnya,” kata KGPAA Mangkoenagoro X.

Pementasan Sudamala: Dari Epilog Calonarang adalah karya kolaborasi antara 90 orang seniman dan maestro Bali juga kota lainnya yang dipentaskan di Pamedan Pura Mangkunegaran.

Baca Juga: Belajar Filosofi Kehidupan Bali “Rwa Bhineda” Lewat Pementasan “Sudamala”

Pementasan tersebut menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar serta ditakuti banyak orang, termasuk membuat resah raja yang berkuasa saat itu, Airlangga.

Hal ini pula yang menyebabkan tak banyak pemuda yang berani mendekati putri semata wayang Ratna Manggali. Walu Nateng Dirah sangat kecewa dan mengekspresikan kepedihannya dengan menebar berbagai wabah.

Luka hatinya itu akhirnya sementara terobati, setelah Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bahula. Kehidupan pernikahan ini ternyata dicederai Mpu Bahula. Ia yang ternyata adalah utusan pendeta kepercayaan Raja Airlangga, mengambil pustaka sakti milik Walu Nateng Dirah yang akhirnya jatuh ke tangan Mpu Bharada.

Walu Nateng Dirah kecewa dan murka, kemurkaannya lalu menimbulkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, Ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda.

160