Jakarta, Gatra.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH Unibraw), Milda Istiqomah, mengatakan, publik harus mengawasi dan mengikuti proses penyusunan draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Publik wajib dilibatkan dalam proses ini.
Milda menyampaikan keterangan tersebut dalam diskusi publik bertajuk “Telaah Kritis RUU TNI dalam Prospektif Politik, Hukum, dan Keamanan” gelaran YLBHI LBH Pos Malang dan Imparsial bekerja sama dengan FH Unibraw yang dihelat secara daring pada Rabu (31/5).
Milda menyampaikan itu menanggapi pernyataan pihak Mabes TNI yang mempertanyakan mengapa draf revisi UU TNI yang tengah disusun ?bisa bocor dan beredar luas ke publik.
“Tanggapan dari Mabes TNI, kok bisa draf ini sampai keluar dan kenapa koalisi masyarakat sipil teriak-teriak dan sebagainya. Padahal ini baru pembahasan awal,” ujarnya.
Justru, lanjut Milda, publik harus mengantisipasinya sejak awal. Publik harus dilibatkan mulai dari pembahasan awal mengenai konsep dan definisi dari draf tersebut.
“Kita masyarakat harus dilibatkan. Ternyata nanti kita lihat pasal perpasal itu cukup berbahaya dan bermasalah,” katanya.
Terlebih lagi, lanjut Milda, proses pembentukan atau pembuatan, termasuk pembahasan UU belakangan ini kerap dilakukan pemerintah dan DPR secara diam-diam dan minim partisipasi publik.
“Harus kita waspadai bersama adalah sering kali proses-proses pembentukan hukum saat ini dengan cara diam-diam, 'tidak ada' pembahasan, tidak ada sosialisasi, tiba-tiba undang-undangnya sudah disahkan saja,” katanya.
Beberapa contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Omnibus Law hingga satu UU yang juga banyak menyedot perhatian publik, yakni KUHP. Bahkan karena minimnya partisipasi publik, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan agar UU Ciptaker harus diperbaiki.
“Kita mengetahui sendiri bahwa cara-cara yang demikian itu yang sebetulnya justru menabrak pilar-pilar demokrasi dan minimnya partisipasi publik, yang bermakna atau multiple participation yang paling banyak dilanggar oleh pemerintah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, RUU TNI kini ramai disoroti berbagai pihak, seperti akademisi, peneliti, aktivis, dan berbagai kalangan lainnya. Terlebih lagi, dalam kurun 5 tahun terakhir ini melihat kebangkitan otoritarianisme.
“Bahkan banyak yang menyebut neo otoritarianisme karena ada beberapa bentuk dan pola berbeda kalau dibandingkan dengan zaman Orde Baru,” katanya.
Khusus untuk RUU TNI, kata Milda, Koalisi Masyarakat Sipil telah teriak-teriak karena beberapa poin karena pasalnya dinilai bakal menguatkan rezim otoritaianisme dan meningkatnya militerisme.
“Kalau melihat dari prospektif hukum dalam 5 tahun terakhir, itu banyak sekali menunjukkan pola-pola pembentukan hukum yang didasarkan pada kepentingan penguasa,” katanya.
Milda mencontohkan, UU Antiterorisme yang direvisi pada tahun 2018. Kemudian beberapa momentum, di antaranya penetapan KKB Papua sebagai organisasi teroris yang sampai saat ini belum ada langkah-langkah konkret lebih lanjut dari pemerintah, khususnya Kemenkopolhukam.
Menurut dia, menguatnya rezim otoritarianisme ini juga ditunjukkan ada beberapa indikasi pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi, seperti kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini tengah disidangkan.
“Selain itu, ada ada persoalan HAM Berat masa lalu yang belum terselesaikan di mana sebetulnya konflik Papua ini melibatkan aparat atau TNI yang masih mendapatkan impunitas,” katanya.