Home Nasional Rancangan Revisi UU TNI yang Beredar Dinilai Ingatkan pada Trauma Orba

Rancangan Revisi UU TNI yang Beredar Dinilai Ingatkan pada Trauma Orba

Jakarta, Gatra.com – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, Daniel Siagian, mengatakan, rancangan revisi Undang-Undang TNI yang beredar belakangan ini mengingatkan kembali akan trauma historis terkait Dwifungsi ABRI yang dijalankan rezim Orde Baru (Orba).

“Dulu jabatan rektor, bupati sampai gubernur itu diisi oleh kalangan militer aktif,” kata Daniel dalam diskusi publik bertajuk “Telaah Kritis RUU TNI dalam Prospektif Politik, Hukum, dan Keamanan” gelaran YLBHI LBH Pos Malang dan Imparsial bekerja sama dengan FH Unibraw yang dihelat secara daring pada Rabu (31/5).

Dwifungsi ABRI tersebut kemudian ditolak oleh gelombang gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil melalui Gerakan Reformasi 98 karena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbesar pada zaman Orba dilakukan oleh kalangan militer.

“Amanat penghapusan Dwifungsi ABRI itu kemudian ada di TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000,” ujarnya.

Menurut Daniel, penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil itu sudah terjadi sebelum beredarnya draft revisi UU TNI saat ini, seperti beberapa kepala daerah dijabat oleh anggota TNI aktif.

“Jadi sebenarnya infiltrasi dari prajurit ataupun aparat militer aktif itu sudah terjadi bahkan sebelum UU TNI ini direvisi,” ujarnya.

“Apa jadinya nanti ketika RUU TNI ini direvisi dengan segala macam penambahan kewenangannya, yang pasti pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin meningkat,” katanya.

Daniel lebih lanjut menyampaikan, terlebih lagi ditambah dengan rencana penguatan atau penambahan kodam-kodam di setiap provinsi di Indonesia yang itu justru berpotensi terjadinya eskalasi pelanggaran HAM.

Secara de facto, kata Daniel, sudah banyak oknum tentara terlibat dalam pengamanan konflik, seperti penggusuran, konflik pengamanan, demonstrasi, menjaga kawasan industri, tambang, bisnis agraria, dan lain sebagainya. “Itu semua ilegal,” ujarnya.

Menurutnya, kalau merujuk pada Pasal 7 Ayat (3) UU TNI, pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) ini perlu keputusan politik negara. Mengingat hal itu, maka revisi UU TNI ini menjadi satu yang "tricky” karena ingin melegalkan hal yang sebelumnya ilegal.

“Revisi UU TNI ini merupakan infiltrasi masuknya militer ke ranah sipil. Maka setelah direvisi, itu peran TNI akan semakin meluas dan kita tidak akan heran nanti ketika ada Kopkamtibmas seperti zaman Orde Baru,” katanya.

Selain itu, draft revisi UU TNI juga merevisi ketundukan militer terhadap sistem peradilan umum, ketika prajurit militer melakukan tindak pidana umum itu tidak akan diproses melalui sistem peradilan pidana umum.

“Implikasinya akan terjadi penguatan impunitas. Jadi Revisi UU TNI ini juga akan memperkuat impunitas prajurit TNI,” ujarnya.

Ia mencontohkan, ketika perwira tinggi milter yang menempati jabatan sipil melakukan tindak pidana korupsi, tidak bisa diproses di lingkup pidana umum. Sedangkan kalau melihat penegakan hukum di peradilan militer, seringkali mendapatkan hasil yang tidak memuaskan karena memiliki catatan rendah terhadap transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas.

46