Jakarta, Gatra.com- Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai saat ini Indonesia telah masuk ke fase deindustrialisasi prematur yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak bisa tinggi dan kurang berkualitas.
Awalil mengatakan, kondisi deindustrialisasi premature ini menjadi salah satu penyebab Indonesia sulit untuk keluar dalam jeratan middle income trap atau jebakan negara berpenghasilan menengah yang telah dialami selama kurang lebih 30 tahun.
"Deindustrialisasi prematur membuat kurang berkualitas, ia tidak begitu mampu menyerap banyak tenaga kerja, dia tidak mendorong keterkaitan antar sektor untuk bersama-sama tumbuh," kata Awalil dalam diskusi bertajuk hilirisasi, Industrialisasi dan ekonomi arah baru secara daring pada Jumat (7/7).
Baca juga: Penyaluran Kredit Baru Bank di Mei 2023 Naik Tipis
Awalil mengatakan, salah satu hal yang harus dilakukan Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah adalah dengan melakukan industrialisasi.
"Dan itu tidak cukup hanya perbaikan tetapi dengan perubahan arah kebijakan ekonomi terhadap industrialisasi," katanya.
Menurut Alwali persoalan terkait industrialisasi lain di antaranya, kebijakan investasi, perdagangan internasional, kredit atau pembiayaan sektor industri, harmonisasi pelaku ekonomi kuat dan UMKM dan rencana strategis industrialisasi, juga harus dilakukan perubahan.
Dalam kesempatan tersebut, Alwali mengatakan, Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur terlihat dari porsi pekerja di sektor industri pengolahan mengalami peningkatan per tahunnya. Namun, produktivitas pekerja dalam industri tersebut malah menurun.
Lebih lengkap, Awalil menjelaskan bahwa, Indonesia sempat mengalami industrialisasi yang cukup pesat dari sekitar tahun 1970 hingga sekitar awal tahun 2000. Namun sejak tahun 2003, berbalik arah menjadi deindustrialisasi.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Inklusi Finansial bagi UMKM Jadi Masalah penting di ASEAN
Deindustrialisasi prematur dapat terjadi ketika belum mencapai tingkat negara berpendapatan menengah tinggi atau tinggi. Porsinya belum sempat melampaui 30%.
Sektor jasa-jasa yang berkembang bukan proses lanjutan dari industrialisasi dan tak banyak diekspor. Bahkan, banyak yang merupakan "kreatifitas" rakyat dan usaha kecil untuk bertahan hidup secara ekonomi.
"Deindustrialisasi prematur dicirikan pula oleh tidak kuatnya struktur industri pengolahan. Dari 16 subsektor manufaktur pada data BPS, porsi terbesar adalah industri makanan dan minuman," jelasnya.
Porsinya terus meningkat pesat dari tahun ke tahun, dan telah mencapai 34,45% pada tahun 2020. Hingga tiga triwulan tahun 2021, porsinya masih 34,68% dari total manufaktur.
"Sektor industri Indonesia membutuhkan banyak bahan baku impor, bahkan terindikasi melampaui nilai ekspornya," katanya.
Keterkaitan industri dengan sektor pertanian dan ekstraktif dan tidak cukup kuat. Sehingga, deindustrialisasi terus berlanjut dan terindikasi memburuk selama 8 tahun terakhir.
Untuk diketahui, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) PDB Industri pengolahan mencapai Rp3,59 kuadriliun pada 2022. Porsi dari nilai tersebut mencapai 18,34% dari total PDB nasional yang senilai Rp19,58 kuadriliun.
Adapun, porsi tersebut lebih rendah dibanding dengan tahun sebelumnya yang mencapai 19,255 dari PDB Nasional.