Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan soal tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa Mario Dandy Satriyo alias Dandy dkk membayar restitusi sebesar Rp120.388.911.030 (Rp120,3 miliar) subsider 7 tahun penjara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, di Jakarta, Selasa (15/8), menyampaikan, angka tersebut sebagaimana ditentukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“[Restitusi Rp120,3 miliar itu] untuk diberikan kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng,” kata Ketut.
Ia menjelaskan, JPU membebankan biaya restitusi terhadap terdakwa Mario Dandy Satriyo alias Dandy dengan pertimbangan, yakni Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Yang menyatakan: Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya,” katanya.
Pasal ini, lanjut Ketut, merupakan manifestasi dari visi Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menghendaki penegakan hukum dijalankan oleh seorang jaksa yang tidak hanya harus “berhati bersih”, tetapi juga harus “menghidupkan hatinya” dalam menginterpretasikan hukum. Itulah hakikat sejati dari kredo fenomenal Jaksa Agung yang selalu mengatakan “Penegakan Hukum Berbingkai Hati Nurani”.
“Pasal ini juga menonjolkan peran jaksa yang bertindak berdasarkan hati nurani dan wajib menggali nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat,” katanya.
Karena itu, ujar Ketut, nilai kemanusiaan dan keadilan akan selalu saling berkaitan dan melengkapi di antara satu sama lain. Tanpa nilai kemanusiaan, nilai keadilan tidak akan memiliki landasan moral dan etik yang kuat. Tanpa nilai keadilan, nilai kemanusiaan tidak akan dapat direalisasikan secara optimal dan menyeluruh.
Menurut Ketut, Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 ini turut mengandung makna filosofis yang kuat dalam mengatur tentang sikap, perilaku, dan tanggung jawab Jaksa dalam menjalankan tugasnya.
Pasal ini juga mengingatkan jaksa untuk tidak hanya berorientasi pada aspek formal hukum, tetapi juga aspek substansial hukum yang mencerminkan nilai-nilai moral, etik, dan sosial. Selain itu, pasal ini juga mengharapkan jaksa untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam menegakkan hukum yang adil dan bermartabat.
Ketut menyimpulkan, jaksa mendasarkan penuntutannya tidak hanya berpijak pada peraturan perundang-undangan semata, tetapi dapat bebas secara bertanggung jawab untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu, bila terjadi pertentangan antara hukum positif (kepastian hukum) dengan keadilan, ataupun terdapat suatu keadaan di mana tidak ada aturan yang mengatur mengenai suatu peristiwa atau aturan yang ada belum dapat mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat, jaksa harus menggali nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran di dalam masyarakat itu sendiri sehingga dapat hadir untuk memberikan solusi terbaik bagi semua pihak dalam upaya untuk menyelesaikan konflik.
Melihat serangkaian konstruksi hukum di atas dan dihubungkan dengan perkara a quo, apabila terdakwa Mario Dany Satriyo alias Dandy tidak mampu ataupun tidak mau membayar restitusi sebesar Rp120.388.911.030 yang telah ditentukan oleh LPSK untuk diberikan kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng, sementara tidak ada pidana pengganti restitusi yang dapat dibebankan Mario Dandy Satriyo alias Dandy dkk, maka sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, telah terjadi suatu kekosongan hukum.
“Tidak ada pidana penganti restitusi merupakan kekosongan hukum yang menimbulkan ketidakadilan bagi korban tindak pidana anak korban Crystalino David Ozora, ujarnya.
David Ozora berhak mendapatkan restitusi sebagai salah satu bentuk pemulihan kerugian fisik, psikis, dan materiil yang dialaminya akibat tindak pidana tersebut. Ketut menjelaskan, hal ini didasarkan pada Pasal 2 Ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.
Adapun pasal tersebut: “Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku terhadap permohonan Restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kemudian, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana: (1) “Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.” (2) “Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: e. Anak korban kekerasan fisik dan /atau psikis.”
Selanjutnya, Pasal 1 angka 11 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban: “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.”
Kemudian, Pasal 7A Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Pasal tersebut, yakni “Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.”
“Surat LPSK Nomor: R-1307/5.1.HSPP/LPSK/04/2023 tanggal 04 April 2023, Hal: Pengajuan Restitusi,” ujarnya.
Atas dasar itu, lanjut Ketut, restitusi merupakan hak konstitusional anak korban tindak pidana yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana terdakwa Mario Danry Satriyo alias Dandy dkk sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Lebih lanjut Ketut menyampaikan, oleh karena itu, ketika terdakwa Mario Dandy Satriyo alias Dandy dkk tidak mampu atau tidak mau membayar restitusi kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng, maka korban David Ozora alias Wareng mendapatkan ketidakadilan ganda dari tindak pidana yang telah menimpanya.
Tim JPU menuntut terdakwa Mario Dandy Satriyo alias Dandy dihukum 12 tahun penjara dan menanggung restitusi sejumlah Rp120,3 miliar bersama-sama dengan Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan alias Shane dan anak saksi AGH secara berimbang dengan menyesuaikan peran serta tingkat kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian untuk membayar restitusi kepada Anak korban David Ozora subsider 7 tahun penjara.
Tim JPU menuntut Mario Dandy Satriyo alias Dandy dijatuhi hukuman tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana Pasal 355 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan Pertama Primair.