Tebo, Gatra.com - Di Pinggir Danau Riak Tebakang, Datuk Mangku Setio Alam berdiri di atas rakit bambu tempat tambatan perahu. Di belakangnya, di atas tanggul pembatas tepian danau, berbaris para tetua adat dan tokoh masyarakat Desa Cermin Alam, Kabupaten Tebo.
Para tokoh adat, masyarakat, komunitas budaya dan lingkungan, stakeholder serta peserta Ekspedisi Batanghari Kenduri Swarnabhumi hikmat mendengarkan sumpah yang dibacakan oleh sesepuh adat Tebo itu. Berisi penetapan Danau Riak Tebakang sebagai lubuk larangan, yakni perairan yang ikannya tidak boleh diambil, kecuali pada waktu-waktu tertentu.
"Mako sesiapo siapo sajo nak melanggar pantangan, menggunting, dalam lipatan, menohok kawan seiring…" ujar Mangku Setio lantang. Kalimat selanjutnya berisi kutukan pada siapapun pelanggar lubuk larangan.
"Mako, dianjak layu, dianggur mati, dikutuk besi kawi, Al-Quran nan 30 Juz," bunyi ancaman dalam teks bernama Sumpah Karang Setio tersebut.
Sumpah yang dibacakan dalam bahasa melayu Jambi yang kental itu kira-kira bermakna barang siapa yang melanggar larangan dengan mengambil ikan di lubuk larangan, maka apa yang dia kerjakan dan usahakan akan sia-sia belaka. Apa yang dia tanam, jika dikerjakan sungguh-sungguh maka akan layu, jika dibiarkan akan mati. Dengan persaksikan kesucian Al-Quran, orang tersebut akan mendapatkan kutukan besi kawi.
Ancaman tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan apapun yang ia tanam, kalau tumbuh ke atas tidak akan berbuah, ke bawah tidak akan berakar, serta diganyang hama. Ke laut dia akan mati tenggelam, ke hutan dia akan diterkam harimau, padi ditanam akan jadi ilalang, kunyit ditanam buahnya akan putih pucat.
Sepintas memang terdengar agak mengerikan. Namun, sejauh itulah ikhtiar masyarakat adat setempat untuk menjaga agar sumber daya ikan di Sungai Batanghari tetap terjaga. Lubuk Larangan yang merupakan tradisi adat masyarakat kini sudah mulai populer kembali.
Kenduri Swarnabhumi yang diadakan oleh Kemendikbudristek serta 13 Pemerintah Daerah di Jambi dan Sumatera Barat mendorong aktivasi lubuk-lubuk larangan di sekitar aliran Sungai Batanghari. Lubuk larangan biasanya ditetapkan pada danau-danau tapal kuda (oxbow), maupun anak-anak sungai cabang dari Batanghari dengan perairan yang tidak begitu dalam. Lubuk larangan biasanya dijaga oleh masyarakat adat di daerahnya masing-masing.
Selain di Cermin Alam, lubuk larangan juga ada di Desa Teluk Kayu Putih, di Kecamatan VII Koto. Di kabupaten lain, lubuk larangan tersebar di Bungo, Merangin, Muaro Jambi, dan Sarolangun.
Larangan pengambilan ikan di lubuk larangan pun bervariasi tergantung aturan setempat. Ada yang tidak boleh diambil kecuali setahun sekali. Ada juga yang boleh diambil namun tidak boleh dengan cara yang merusak seperti menyetrum dan meracun.
Khusus Danau Riak Tebakang, Mangku Setio Alam mengatakan telah ditetapkan sebagai lubuk larangan mulai dari jalan lama kampung hingga ke bendungan irigasi. Sanksi bagi pelanggar, selain berbagai macam kutukan, juga diwajibkan untuk memotong kambing bagi warga desa.
"Apa yang kita tanam akan kita jaga, apa yang kita tebar akan kita pelihara bersama," ujar Mangku Setio.
Selepas penetapan Danau Riak Tebakang sebagai lubuk larangan, tim Eskpedisi Sungai Batanghari, komunitas-komunitas budaya dan lingkungan, stakeholder serta tokoh masyarakat melepaskan sekitar 56 ribu benih ikan ke danau. Ikan-ikan tersebut diharapkan berkembang biak dan bisa diambil pada saat masa panen ikan.
Lubuk larangan adalah satu di antara kearifan lokal dalam menjaga alam, khususnya peradaban sungai. Terdapat banyak kearifan lokal lainnya di Indonesia.