Home Info Sawit Ini Sederet Kelebihan 'Proses Kering' TBS. Cuan Petani Sawit Bertambah

Ini Sederet Kelebihan 'Proses Kering' TBS. Cuan Petani Sawit Bertambah

Medan, Gatra.com - Sudah lebih dari 100 tahun Pabrik Kelapa sawit (PKS) dengan praktik 'proses basah' atau wet process itu berlaku di Indonesia setelah pertama kali muncul pada 1922 silam.

Alhasil, selama itu pula Palm Oil Mill Effluent (POME) dihasilkan pada proses pengolahan TBS menjadi CPO itu. Kalau POME ada, sudah bisa dipastikan pula bau tak sedap berseliweran di dalam maupun di sekitar pabrik.

Tak melulu itu, emisi karbon membumbung, dan... fitonutrien yang terkandung di dalam buah sawit rusak dan banyak pula terbawa ke dalam limbah cair dan tandan buah kosong (tankos).

Pada acara Indonesia International Palm Oil Conference ke-9 yang digelar 4-6 Oktober 2023 di Santika Premiere Dyandra Hotel & Convention, Medan, Sumatera Utara (Sumut), Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) betul-betul mengupas persoalan ini.

Baca juga: Semua Tudingan Miring Soal Sawit Bisa Dipatahkan, Begini Caranya...

Lelaki 78 tahun itu menghitung bahwa tiap ton Crude Palm Oil (CPO) yang dihasilkan PKS, akan menghasilkan 1.296,1 ton emisi karbon. Sekitar 1.026,4 ton emisi itu dari dan ada pada POME.

Hitungan semacam ini juga sudah pernah disodorkan oleh peneliti Universitas Gajah Mada, Dr Hisyam Musthafa Al Hakim pada Maret 2016 silam dalam tulisannya berjudul: Penilaian Siklus Hidup di Pabrik Kelapa Sawit di PTPN 13.

Kalau di tahun lalu total CPO yang dihasilkan oleh semua PKS yang ada di Indonesia mencapai 46,729 juta ton, maka sudah 60,5 juta ton pula emisi karbon (C02eq) yang dihasilkan. Angka ini tergolong besar.

Inilah yang kemudian membikin Sahat memutar otak gimana caranya supaya bisa menghadirkan pabrik yang bisa beroperasi tanpa limbah.

Pucuk dicinta, pada medio 2016-2017 silam, dia ketemu dengan koleganya yang orang Afrika di Jakarta. "Kenapa kalian enggak memakai sawit asal Indonesia?" Sahat bertanya kepada koleganya itu.

Dengan enteng si Afrika ini menjawab,"minyak sawit asal Indonesia enggak ada rasanya. No texture,"

Sahat kaget. "Ada rupanya rasa di sawit ini ya. Kalau dianalogikan, samalah kayak rasa andaliman (rempah khas di Tanah Batak Sumatera Utara). Yang tahu seperti apa rasanya itu tentu mereka yang telah memakan andaliman untuk waktu yang lama, jadi bisa merasakannya. Kalau ada rasa (atau yang disebut "texture") di sawit itu, berarti selama ini Indonesia sudah keliru memproses dan menghasilkan sawit untuk bahan makanan," Sahat membatin.

Singkat cerita, ketemulah ide membikin pabrik pengolahan model Steam-less Palm Oil Technology & Impuritues Removal Unit (SPOT&IRU).

Produk yang dihasilkan disebut Palm Mesocarp Oil (PMO), tidak disebut sebagai CPO. Tujuannya agar para industri hilir tahu bahwa jenis minyak sawit yang beremisi rendah dan kaya dengan vitamin adalah PMO dan yang miskin vitamin serta penghasil emisi yang tinggi disebut CPO.

Biar getir (rasa) itu benar-benar dapat diketahui dan dirasakan kata Sahat, proses pengolahan TBS menjadi PMO dilakukan dengan cara Dry Process. Tidak lagi dengan cara Wet Process.

Temperaturnya enggak boleh lebih dari 100 derajat celsius. Dengan begitu, vitamin yang ada pada sawit tetap ada di dalam, tidak seperti hasil yang didapat dari proses Wet Process .

Perbandingannya begini; kalau TBS diolah pakai Wet Process, katakanlah sawit masih dalam bentuk buah vitaminnya 100%, setelah jadi CPO yang tinggal justru hanya 40%.

Itu terjadi lantaran pada Wet Process, temperatur waktu memproses TBS ke CPO tinggi sekali. Tekanannya sampai tiga bar atau uap proses di sterilizer mencapai 142 derajat celcius.

"Dengan temperatur setinggi itu, gizi di sawit menjadi rusak. Nah, kalau pakai Dry Process, gizi yang tinggal di PMO masih sangat tinggi; 90%- 95%. Ini terjadi lantaran temperatur saat memproses tak sampai 100 derajat celsius," terangnya.

"Ragam vitamin yang kemudian terdapat di dalam minyak makan sawit, bisa menjadi andalan untuk memerangi stunting," tambahnya.

Di Afrika kata Sahat, kalau pada buah sawit vitaminnya 100%, setelah jadi minyak sawit, vitaminnya juga masih 100%. Soalnya orang Afrika mengolah TBS nya pakai kukusan, tidak pakai steam tekanan tinggi.

Menurut Sahat, pabrik SPOT&IRU tadi bisa dibangun dimana saja lantaran tak harus dekat dengan sungai.

Kapasitas nya kecil-kecil saja. Makanya bisa untuk petani. Ongkos angkut akan murah dan limbahnya sedikit.

"Emisi yang dihasilkan pun sangat rendah, hanya sekitar 269,7-300 kilogram CO2eq per satu ton PMO," terangnya.

Sudahlah emisi karbon rendah, ongkos olah TBS pun lebih murah Rp37 per kilogram TBS yang diolah ketimbang menggunakan pola wet process. Rendemen yang dihasilkan oleh Dry process ini 1,5% lebih tinggi diatas pola Wet process.

Yang lebih penting lagi, Chorine content yang dihasilkan kurang dari 2 ppm. Sementara kalau di wet process, masih di angka 7-10 ppm.

Mono Glycerides dan Diacyl Glycerides tidak terdeteksi. Sementara kalau di wet process dan dilanjut dengan Physical Refining, kandungan 3MCPDE masih ada di angka 8-10 ppm dan Glycidil Ester ada di level 5-8 ppm.

Saat ini kata Sahat, ada perusahaan lokal PT. Nusantara Green Energy (NGE) yang telah melakukan join venture dengan koperasi petani di Desa Jelutih, Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi untuk membangun pabrik PMO berkapasitas 10 ton TBS per jam. Diharapkan November tahun depan, pabrik itu sudah beroperasi.

Kalau kemudian semua pabrik konvensional yang ada merubah perlakuannya dari Wet process menjadi Dry process, Sahat yakin, kualitas minyak sawit Indonesia akan jauh lebih bagus.

Sudahlah begitu, udara pun akan lebih bersih, vitamin sawit akan tetap dipertahankan didalam minyak sawit dan, petani swadaya akan naik kelas.

Ini imbas dari sederet aspek yang menguntungkan mereka antara lain; biaya proses lebih rendah. Emisi karbon yang rendah akan menjadi bahan dagangan du=i Bursa karbon yang sedang digalakkan oleh OJK dan KLHK.

Saat ini, diperkirakan perkebunan kelapa sawit rakyat memerlukan penanaman kembali seluas 4,26 juta hektar, atau 609,3 ribu/ha per tahun selama 7 tahun.

Kalau proses ini sudah kelar, maka diperkirakan seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat akan dapat menghasilkan 21 ton Tbs/ha/tahun.

Bila petani mengolah TBS nya dengan cara Wet process, maka produksi CPO di tahun 2030 akan menghasilkan emisi karbon sekitar 37,1 juta ton CO2 eq.

Tapi kalau dialihkan ke “proses kering” --- dengan catatan petani punya pabrik sendiri --- maka pada tahun 2030 pabrik hanya menghasilkan emisi karbon sebanyak 7,71 juta ton.

"Pengurangan emisi karbonnya mencapai 29,4 juta ton CO2 eq. Nilainya setara dengan USD440,9 juta/tahun dengan asumsi USD 15/ton CO2 eq," Sahat menghitung.

Terlepas dari semua itu, cara-cara yang dilakukan terkait sawit ini kata Sahat, dipastikan telah pula memenuhi 17 SDGs.

"Pendapatan petani akan lebih tinggi, tidak deforestasi, tidak pakai air, gizi alaminya ada, petani tidak lagi jadi objek namun naik kelas menjadi subyek, emisi karbon turun, kehidupan mahluk di air tidak terganggu, hingga produk PMO ini benar-benar memiliki nutrisi tinggi," Sahat merinci.


 

452