Doha, Gatra.com - Para pemimpin dunia memuji Qatar karena menjadi perantara gencatan senjata antara Israel dan Hamas pekan lalu. Para perundingnya “menggandakan” upaya mediasi mereka, karena khawatir gencatan senjata akan gagal sebelum dimulai.
Reuters, Jumat (1/12) melaporkan, gencatan senjata dan perjanjian dalam pertukaran tahanan dan sandera, dirumuskan secara terbuka penuh strategi.
Para perunding di negara kecil Teluk tersebut mengetahui bahwa Israel dan Hamas -ketika itu-- belum sepakat mengenai kapan atau bagaimana, gencatan senjata dan pertukaran akan dimulai.
Terobosan dilakukan di Qatar, melibatkan Palestina, dan Mesir yang mengetahui perundingan berisiko tinggi tersebut.
“Semua poin dalam perjanjian tersebut perlu diklarifikasi dan memastikan bahwa poin-poin tersebut memiliki arti yang sama pentingnya bagi Israel dan Hamas,” kata sebuah sumber yang mengetahui tentang negosiasi tersebut.
“Misalnya, pihak Israel akan berjanji untuk “memarkir” tank-tank yang mereka gunakan di dalam Jalur Gaza, namun tidak ada seorang pun yang sepakat mengenai bagaimana penerapan tindakan tersebut di lapangan,” tambah sumber tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena sifat sensitif dari pembicaraan tersebut.
Salah satu perunding utama Qatar, diplomat karir Abdullah Al Sulaiti, sempat merasa khawatir. “Saya pikir kami akan kehilangannya dan perjanjian, itu tidak akan berhasil,” katanya dalam sebuah wawancara.
Untuk tetap fokus, Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani berusaha menyelesaikan agenda itu. Dia pun terpaksa membatalkan rencana perjalanan ke Moskow dan London.
Di dalam salah satu kantornya di Doha pada Rabu sore, 22 November, Sheikh Mohammed memulai “putaran baru” perundingan yang hanya beberapa jam setelah gencatan senjata diumumkan.
Dalam pertemuan utama perdana menteri, turut hadir pimpinan Mossad, David Barnea, yang telah terbang dari Israel setidaknya untuk ketiga kalinya sejak awal perang, dan delegasi perwira intelijen Mesir.
“Tim perunding Qatar menggunakan ruangan terpisah lain untuk menelepon delegasi Hamas, yang masih berada di kantor vila mereka di seberang kota,” kata sumber itu.
Kementerian luar negeri Qatar mengatakan kepada wartawan bahwa Hamas dan Israel bernegosiasi di Doha sejak malam hingga pagi hari, tanggal 23 November dan menyetujui rencana untuk menerapkan perjanjian gencatan senjata pada hari berikutnya.
Kisah ini mengungkapkan rincian pertemuan penting tersebut, yang berlangsung selama sembilan jam dan dijelaskan di sini untuk pertama kalinya.
Hal ini juga memberikan gambaran sekilas tentang pendekatan kuat yang digunakan oleh Qatar. Dengan cepat para perunding di antar-jemput dan diyakinkan, --ketika seorang pejabat yang terlibat dalam perundingan dapat bertemu dengan pihak yang dianggapnya tidak memiliki tingkat kepercayaan satu sama lain.
Kementerian Luar Negeri Qatar, Departemen Luar Negeri AS, dan kantor politik Hamas di Doha tidak menanggapi pertanyaan rinci untuk artikel ini.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang mengawasi Mossad, juga menolak berkomentar.
Bukan Tukang Pos
Menurut seorang pejabat AS yang mengetahui masalah tersebut dan sumber keamanan Mesir, Qatar tidak hanya sekadar menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak lain, namun pendekatan mediasi Qatar bersikap proaktif dan memberikan dukungan mereka dalam negosiasi.
Doha telah menggunakan taktik tersebut untuk mendorong solusi guna menutup kesenjangan tuntutan antara Israel dan Hamas, terutama ketika para perunding menangani masalah sensitif yakni keselamatan sandera, menjelang pengumuman gencatan senjata pertama.
Pada awalnya, pemerintahan Netanyahu mengatakan tidak akan menukar tahanan Palestina yang ditahan di Israel dengan sandera yang ditahan di Gaza. Hamas, yang pada tahun 2011 telah memperoleh pembebasan lebih dari 1.000 tahanan Palestina yang ditahan di Israel, dengan imbalan pembebasan satu tentara Israel. “Namun, (kali ini) oleh Israel, tuntutan itu terasa tinggi,” kata orang-orang yang mengetahui perundingan tersebut.
Hingga akhirnya kedua belah pihak menyepakati rasio tiga tahanan Palestina dikeluarkan sebanding dengan satu orang sandera sipil hamas.
Kuncinya, kata pejabat Qatar yang terlibat dalam perundingan, adalah bagaimana mengubah apa yang diusulkan oleh satu pihak hingga dapat diterima oleh pihak lain.
“Kami bilang 'Dengar, mari kita lakukan diskusi putaran kedua dengan Anda sebelum kami mengirimkan proposal,'” katanya, berbicara tanpa menyebut nama.
“Jika kami memutuskan untuk menjadi seperti ‘tukang pos’ dan hanya mengirimkan surat, saya ragu kami (tidak sanggup) menyelesaikan perjanjian ini.”
Pada tanggal 22 November, utusan Qatar dengan menggunakan telepon dan berpindah-pindah ruangan, terus meyakinkan kedua pihak.
Para perunding Qatar mengarahnya Israel dan Hamas untuk menyepakati di mana lokasi tank-tank Israel akan ditempatkan di Gaza, selama gencatan senjata. Demikian pula, mereka menjadi perantara kesepakatan tentang bagaimana tentara Israel akan memenuhi permintaan Hamas untuk mengosongkan rumah sakit di Gaza, termasuk Al Shifa, tempat mereka mengambil posisi.
Para perunding, yang beberapa di antaranya telah terlibat dalam mediasi Israel-Hamas sejak tahun 2014, juga perlu menyusun elemen penting: Mekanisme pengamanan yang dirancang untuk memastikan bahwa pelanggaran sekecil apa pun dalam gencatan senjata, tidak akan menyebabkan keruntuhan gencatan senjata.
Mereka berhasil membuat kedua belah pihak menandatangani prosedur khusus yang harus mereka ikuti jika terjadi insiden, meninjau skenario rinci seperti tembakan atau pergerakan tank.
“Mekanisme tersebut diaktifkan tak lama setelah gencatan senjata diberlakukan, ketika tentara Israel menembaki warga Palestina yang mencoba pindah ke Gaza utara,” kata sumber itu.
Sekitar lima jam setelah pertemuan, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani berbicara melalui telepon dengan Presiden AS Joe Biden dan membahas implementasi kesepakatan tersebut, sebagaimana menurut pembacaan panggilan tersebut dari Gedung Putih.
Setelah sesi maraton selesai beberapa jam kemudian, Kementerian Luar Negeri Qatar mengumumkan gencatan senjata akan mulai berlaku pada hari Jumat, 24 November pukul 7 pagi di Gaza.
Pergi ke mediator
Sebagai salah satu dari sedikit negara yang memiliki jalur komunikasi terbuka dengan Israel dan Hamas, Qatar telah muncul sebagai negosiator utama dalam perang selama berminggu-minggu, yang dimulai dengan serangan Hamas pada 7 Oktober. Selain AS , Rusia juga memuji peran “sahabat Qatar”-nya.
Namun, mediasi Qatar menuai kritik dari negara-negara Barat, dengan beberapa politisi AS dan Eropa menuduh negara Teluk tersebut mendukung kelompok Hamas, yang mereka anggap sebagai organisasi teroris.
“Para pejabat Qatar mengatakan mereka mulai menampung perwakilan Hamas di Doha pada tahun 2012 atas permintaan Washington, ketika kantor politik militan Palestina digulingkan dari Suriah. Israel memeriksa semua transfer keuangan yang dilakukan Qatar kepada warga Palestina di Gaza,” kata sumber Qatar.
“Hubungan pribadi Qatar dengan tokoh-tokoh kunci kelompok militan mungkin merupakan faktor terpenting di balik kemampuan Qatar untuk bernegosiasi secara efektif dalam konflik ini,” kata Mehran Kamrava, profesor pemerintahan di Universitas Georgetown di Qatar.
“Mereka berkata, 'Lihat. Kami telah menyediakan kantor dan dukungan logistik dengan mengorbankan reputasi yang sangat besar…Kami adalah satu-satunya orang yang ada untuk Anda, ketika Anda membutuhkan kami dan sekaranglah saatnya Anda harus membalas budi,'” katanya.
Meski dekat dengan pejabat Hamas, perunding Qatar tidak berbicara langsung dengan para pemimpin kelompok tersebut di Gaza, namun melalui perwakilannya yang berbasis di Doha.
Rantai komunikasi terputus beberapa kali, bahkan selama dua hari penuh berturut-turut, selama satu setengah bulan pertempuran sengit sebelum gencatan senjata pada 24 November. “Karena pemadaman listrik atau penutupan Israel,” kata sumber yang menjelaskan tentang perundingan tersebut.
Mossad sering memainkan peran diplomatik dalam urusan Israel dengan Qatar, karena kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik formal, sebuah situasi yang menurut salah satu sumber Barat di Teluk juga memperlambat proses tersebut.
Netanyahu telah bersumpah untuk memusnahkan Hamas, yang menguasai Gaza, sebagai tanggapan atas amukan kelompok militan tersebut pada 7 Oktober, ketika Israel mengatakan orang-orang bersenjata membunuh 1.200 orang dan menyandera 240 orang.
Sebagai tanggapan, Israel membombardir wilayah tersebut selama tujuh minggu dan membunuh lebih dari 15.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan di jalur pantai tersebut.
Sejak jeda pertempuran dimulai, sekitar 100 sandera telah dibebaskan dari Gaza, termasuk warga non-Israel. Israel telah membebaskan sedikitnya 210 warga Palestina dari penjaranya dan mengizinkan organisasi bantuan meningkatkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan bahan bakar ke Gaza.
Namun setelah gencatan senjata selama tujuh hari, permusuhan dapat kembali terjadi pada hari Jumat, kecuali perpanjangan lain disepakati.
Berbicara kepada Reuters beberapa hari setelah gencatan senjata dimulai, Al Sulaiti, mediator Qatar, mengatakan upaya tersebut masih jauh dari selesai.
“Pada awalnya saya pikir mencapai kesepakatan akan menjadi langkah tersulit,” kata pegawai negeri yang terlibat dalam mediasi Israel-Hamas sejak tahun 2014.
“Saya menyadari bahwa mempertahankan kesepakatan itu sendiri juga sama menantangnya,” tambahnya dikutip Al-arabiya.