Jakarta, Gatra.com – Steering Committee Muslim for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC), Rika Novayanti, mengatakan, peluncuran inisiatif Wakaf Hutan sebagai salah satu solusi pendanaan inovatif bagi masalah perubahan iklim yang dihadapi Indonesia.
Rika dalam keterangan pers diterima pada Selasa (5/11), menyampaikan, peluncuran dilakukan dalam momen pelaksanaan COP 28 di Dubai untuk memberikan sinyal darurat bahwa perlindungan alam lebih penting dari profit dan kepentingan politik.
“Peluncuran inisiatif Wakaf Hutan dalam suasana gelaran COP 28 di mana berbagai negara bernegosiasi tentang pencapaian target emisi adalah momen yang tepat untuk mengirimkan sinyal darurat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Wakaf Hutan merupakan gerakan kolaboratif penggalangan dana untuk pelestarian hutan melalui wakaf sebagai salah satu instrumen filantropi Islam.
Kampanye wakaf hutan yang diluncurkan hari ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi filantropi Islam sebagai salah satu solusi inovatif bagi pembiayaan aksi iklim.
Dana yang terkumpul dari penggalangan ini akan disalurkan untuk program ekologi, ekonomi, dan edukasi melalui Yayasan Hutan Wakaf Bogor sebagai salah satu nazir wakaf hutan yang terletak di Desa Cibunian, Kabupaten Bogor.
“Melalui kampanye wakaf hutan, kami berharap dapat memberikan inspirasi bahwa pendanaan iklim tidak harus hanya bersumber dari luar negeri, namun dapat juga melalui kolaborasi dan pemanfaatan potensi besar dari pendanaan umat,” kata Rika.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai, Indonesia membutuhkan dana sebesar US$281 miliar atau sekitar Rp4.299 triliun untuk mencapai target (Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030.
Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia, drh. Emmy Hamidiyah, menyampaikan, pembiayaan dan filantropi Islam bisa menjadi alternatif solusi pendanaan yang inovatif karena potensinya yang sangat besar di Indonesia.
“Potensi wakaf mencapai Rp180 triliun setiap tahun. Dalam catatan kami hingga bulan Oktober, sudah 2,3 triliun yang terkumpul melalui wakaf uang,” kata Emmy.
Namun demikian, lanjut Emmy, sebagian besar masih tersalurkan untuk pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sedangkan untuk lingkungan masih kecil sekali, yakni di bawah Rp5 miliar.
Inisiatif Wakaf Hutan telah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu dan dimulai secara mandiri oleh beberapa komunitas masyarakat di beberapa lokasi, seperti Hutan Wakaf di Janto, Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan pelestarian hutan sejenis juga telah dilakukan komunitas masyarakat Laskar Hijau di Gunung Lemongan, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Menanggapi tentang potensi ekonomi dari inisiatif wakaf hutan, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Bambang Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D., menyampaikan bahwa seperti di Brazil dan Kongo, hutan Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk mendorong pertumbuhan green economy dan carbon trading.
“Demand secara global untuk carbon trading sudah ada, sekarang tinggal bagaimana kita menyediakan supply-nya,” kata Bambang.
Menurutnya, Wakaf Hutan sejalan dengan visi program perhutanan sosial dari pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kondisi hutan tetap lestari dengan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat sekitar.
“Saya ingin melihat wakaf hutan dipromosikan sebagai bagian dari upaya mengembalikan peran hutan sebagai aset yang paling berharga, yang saat ini semakin dilupakan,” harap Bambang.
Kepala Divisi Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Ignatius Denny Wicaksono, menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif wakaf hutan ini. Di bursa karbon kredit, inisiatif seperti Wakaf Hutan ini sangat potensial untuk menjadi carbon credit kategori premium.
“Karena tidak hanya menghasilkan karbon, tapi juga memberikan manfaat sosial yang nyata kepada masyarakat sekitar dan biodiversity,” ujarnya.