Jakarta,Gatra.com-Presiden Jokowi mengklaim Indonesia sukses menurunkan emisi karbon dan deforestasi dari tahun ke tahun. Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar tidak lengah pada krisis iklim yang makin mengkhawatirkan.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam menanggapi pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G77 dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam rangkaian World Climate Action Summit (WCAS) COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
“Indonesia harus tetap tegas menuju titik akhir net-zero emisi dengan menyapih bahan bakar fosil, apalagi mengingat bahwa data dan fakta harus dilihat utuh dari berbagai perspektif”, ujar Nadia melalui siaran pers yang diterima Gatra pada Selasa (6/12).
Pasalnya, lanjur Nadia, berdasar laporan terbaru Global Carbon Project (GCP) menunjukkan bahwa di tahun 2023 ini Indonesia menduduki sepuluh besar penyumbang emisi terbesar di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3% dari tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Kenaikan emisi berasal dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.
Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengklaim kesuksesan Indonesia dalam menurunkan emisi karbon hingga 42 persen pada 2022, dibandingkan dengan perencanaan Business as Usual (BAU) tahun 2015. Jokowi juga menyebut sudah bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Ia menyebut dalam pengelolaan FOLU, Indonesia terus menjaga dan memperluas mangrove dan merehabilitasi hutan dan lahan, serta menurunkan deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
Menurut Nadia dari pencapaian yang disampaikan tersebut, masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang masih tertinggal. Diantaranya, pihaknya menggarisbawahi pentingnya membuka data klaim penurunan emisi tersebut kepada publik sebagai bentuk transparansi dan memberi ruang partisipasi publik untuk memvalidasi capaian tersebut di Tingkat tapak.
“Kita memang harus mengapresiasi keberhasilan pemerintah Indonesia karena telah mampu menekan laju deforestasi. Meskipun demikian, masih banyak ketidaksesuaian antar kebijakan penurunan emisi Indonesia yang justru berpotensi memberikan tekanan untuk pengalihfungsian hutan,” tegas Nadia.
Sebagai contoh, dokumen Enhanced NDC masih memberikan kuota deforestasi 359 ribu hektar per tahun hingga 2030. Padahal untuk mencapai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, sudah tidak ada lagi ruang deforestasi bagi Indonesia hingga 2030. Belum lagi, ketidakselarasan antar target pengurangan emisi dari sektor energi dan kehutanan juga berpotensi memberikan ancaman deforestasi yang lebih lanjut.
Misalnya, langkah menjalankan kebijakan bauran energi baru terbarukan melalui co-firing biomassa. Kebutuhan pelet kayu salah satunya akan dipenuhi melalui hutan tanaman energi. Indonesia melalui kebijakan FOLU Net Sink 2030 mengejar target pembangunan hutan tanaman yang belum terealisasi seluas 6,11 juta hektar.
“Namun, terdapat catatan hanya ada 2,04 juta hektar yang sudah jelas dapat dikelola. Dari mana selisih kebutuhan tersebut akan diperoleh?” tambah Nadia.
Senada, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan MADANI Berkelanjutan, Salma Zakiyah, menambahkan bahwa pembangunan hutan tanaman energi untuk memenuhi target co-firing biomassa akan berpotensi menimbulkan deforestasi baru.
“Kebijakan pengurangan emisi di sektor energi seharusnya tidak membebani upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan dan lahan, agar tidak terjadi trade off pengurangan emisi Indonesia,” ungkapnya.
Saat ini menurutnya masih terdapat setidaknya 9,7 juta hektar hutan alam yang harus segera dilindungi untuk mencegah situasi di mana emisi hanya dipindahkan dari sektor ke sektor lain. Untuk itu menurut Salma, Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.
Caranya, dengan melindungi hak-hak penerima yang paling terdampak dan yang berkontribusi paling sedikit, termasuk buruh, petani, nelayan dan masyarakat adat. Tentu, dengan memperhatikan hak-hak gender dan sosial, termasuk hak-hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi pemimpin untuk memberikan contoh konkret bagi perlindungan hutan dan pencapaian komitmen terhadap krisis iklim.
Lambatnya Pengurangan Penggunaan Bahan Bakar Fosil
Laporan Global Carbon Budget, disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya. Tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi Laporan IPCC.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menilai posisi Indonesia sebagai salah satu emiten besar sedunia merupakan peringatan bahwa Indonesia perlu mengambil andil dalam mengurangi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan. Khususnya dari sektor energi dan lahan.
“Sebagai salah salah satu negara yang paling rentan akan perubahan iklim, penting bagi negara kepulauan ini untuk berupaya mengurangi emisi karbon dan menekan laju perubahan iklim serta mencegah dampak terburuknya demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya,” ungkap Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Laporan tersebut, bagi Nadia Hadad juga menunjukkan ada kontradiksi antara data pemerintah dan ilmuwan. Karenanya, perlu ada transparansi data pemerintah yang disandingkan dengan data dari berbagai kajian global dan data yang dimiliki masyarakat sipil.
Deforestasi masih terjadi mungkin menurut Nadioa juga karena Enhanced NDC masih memberikan “kuota” deforestasi sebesar 300 ribu ha per tahun hingga 2030. Dari 128,7 ribu hektar deforestasi hutan alam yang terjadi pada 2020-2021, 62%-nya terjadi di wilayah izin dan konsesi.
“Penegakan hukum harus lebih tegas supaya angka deforestasi bisa lebih ditekan,” tegasnya.
Selanjutnya, Indonesia harus memperkuat komitmennya dalam menghentikan dan mengembalikan (halting and reversing) laju kehilangan hutan Indonesia sebagaimana yang telah dijanjikan pada Glasgow’s Leaders Declaration on Forest and land Use”.