Home Teknologi Indonesia Butuh Lompatan Inovasi untuk Jaga Kedaulatan Dirgantara dan Digital

Indonesia Butuh Lompatan Inovasi untuk Jaga Kedaulatan Dirgantara dan Digital

Jakarta, Gatra.com - Staf Khusus (stafsus) Wakil Presiden (Wapres) RI, Dr. R. Gatot Prio Utomo menyoroti perkembangan Ekonomi Digital di Indonesia yang kurang memperhatikan penguasaan teknologi dan bisnis digital di sektor hulu atau upstream.

Gatot menjelaskan bahwa tidak seperti halnya industri pertambangan, di mana sektor hulu secara natural berada di bawah kedaulatan Indonesia dan tidak bergerak, aset terbesar untuk industri digital adalah jumlah penduduk yang sangat besar, dan wilayah geografis Indonesia yang menjadi lalu lintas data global.

"Pemerintah harus menjaga kedaulatan dua aset tersebut baik secara ekonomi maupun diplomasi internasional. Jumlah penduduk yang besar telah diserbu oleh raksasa teknologi global yang menjadikan penduduk Indonesia sebagai pasar," ujar Gatot dalam keterangannya kepada Gatra.com, Jumat (5/1).

Kedaulatan digital, jelas Gatot, tidak saja menjaga kedaulatan data pribadi penduduk Indonesia yang telah diinisiasi melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU-PDP), namun juga harus dijaga melalui diplomasi terkait ekonomi digital dunia.

"Yang harus diperhatikan antara lain adalah memastikan program Global Tax Deal dapat memberikan keuntungan bagi Negara, dikarenakan masyarakat Indonesia telah memberikan pasar dan keuntungan besar bagi raksasa teknologi dunia.” ujarnya.

Terkait dengan wilayah geografis Indonesia yang menjadi lalu lintas data global juga harus benar-benar dijaga. Gatot, yang juga Direktur Eksekutif pada Center for Digital Blue and Green Economy, mengamati adanya perkembangan teknologi yang sangat penting untuk dicermati, yaitu teknologi Satellite Direct-to-Device atau Direct-to-Cell dan teknologi reusable rocket (roket daur ulang) yang memungkinkan peluncuran satelit dapat dilakukan dengan cepat dan biaya yang jauh lebih murah dari sebelumnya.

"Teknologi ini mempersempit entry-to-barrier cost bagi negara-negara berkembang untuk turut serta dalam kancah penguasaan bisnis dan kedaulatan ruang angkasa." jelasnya.

Hal ini dapat diamati dengan maraknya startup baru di bidang roket dan satelit di Asia, khususnya India, China dan Jepang, yang dalam beberapa dekade sebelumnya, teknologi dan bisnis ini hanya dikuasai oleh Amerika, Rusia dan beberapa negara Eropa.

Saat ini hanya satu perusahaan yang mendominasi kedua upstream atau hulu tersebut, yaitu Space X dan anak perusahaannya, Starlink. Starlink telah meluncurkan sebanyak lebih dari 4000 satelit LEO (Low Earth Orbit) yang menutupi hampir seluruh wilayah planet bumi.

Dalam waktu dekat, Starlink akan meluncurkan satelit yang memungkinkan akses langsung dari satelit ke handphone, sehingga suatu saat tidak diperlukan lagi BTS dan perangkat backhaul yang mahal untuk menyediakan konektivitas Internet bagi perangkat digital termasuk handphone, desktop dan perangkat IoT (Internet of Things).

Beberapa bulan lalu, Pemerintah Amerika Serikat juga menyatakan akan memanfaatkan jasa Space X untuk memperkuat pertahanan negaranya, dengan program yang disebut Star-Shield.

"Ini mengindikasikan bahwa wilayah dirgantara, termasuk ruang udara (air-space) dan ruang angkasa (outer-space), harus dijaga oleh setiap negara, termasuk Indonesia yang memiliki posisi geografis dan geopolitik yang strategis." bebernya.

Gatot menilai positif inisiatif Kementerian Pertahanan untuk mengembangkan Drone dengan merumuskan peta jalan produksi drone atau Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Medium Altitude Long Endurance (MALE), serta pembelian drone dari Turki dengan anggaran sebesar Rp4,5 triliun.

Hal ini, Gatot melanjutkan, tentu akan memperkuat postur pertahanan Indonesia, salah satunya untuk menjaga wilayah laut kita yang sangat luas dari pencurian dan penyelundupan.

“Namun yang perlu dicatat adalah pengoperasian drone tersebut bertumpu pada konektivitas data satelit, yang lagi-lagi tidak cukup dikuasai oleh bangsa Indonesia.” tuturnya.

Lebih jauh lagi, Gatot mengungkapkan keprihatinannya terhadap luputnya penguasaan bisnis dan teknologi hulu atau upstream yang berkembang akhir-akhir ini. Fokus sebagian besar pelaku industri dan kebijakan Pemerintah hanya pada teknologi hilir, seperti pembangunan aplikasi-aplikasi e-commerce, mendorong anak muda untuk menjadi content creator, dan fokus konektivitas data pada penyediaan layanan data saja.

“Sementara aset digital hulu terbesar, yaitu jumlah penduduk dan wilayah dirgantara Indonesia tidak mendapat cukup afirmasi untuk pengembangan teknologi dan penyusunan kebijakan yang melindungi sekaligus memaksimalkan potensi yang ada.” tambahnya.

Indonesia, jelas Gatot, harus dapat menguasai teknologi dan diplomasi internasional untuk menjaga kedaulatan dirgantara dan ekonomi digital. Dan sudah saatnya Indonesia melakukan lompatan inovasi, tidak hanya sekedar mengikuti arus utama pengembangan teknologi.

“Indonesia harus menguasai satu-dua langkah lebih ke depan karena hal ini akan memicu inovasi dan bahkan menjadi catapult (ketapel) inovasi-inovasi lainnya secara lebih cepat serta memperkuat fundamental penguasaan teknologi secara lebih luas dan strategis.” tegasnya.

144