Home Kolom Hulunisasi Industri Digital, Menjaga Kedaulatan

Hulunisasi Industri Digital, Menjaga Kedaulatan

Oleh:

Gatot Prio Utomo & Wahyu Andrianto

(Pendiri Center of Digital Blue & Green Economy)

Pelaku Industri Digital di Indonesia saat ini nampaknya masih kurang memperhatikan penguasaan teknologi dan bisnis digital di sektor hulu atau upstream. Tampak jelas bahwa pelaku industri digital Indonesia lebih fokus pada teknologi hilir, seperti pembangunan aplikasi-aplikasi e-commerce, pengembangan diri sebagai content creator, dan sebagai penjual layanan digital, karena lebih mudah dan cepat dalam mendatangkan keuntungan.

Seperti kita tahu, di industri pertambangan, sektor hulunya secara natural berada di bawah kedaulatan Indonesia dan tidak bergerak, sedangkan aset terbesar pada industri digital adalah jumlah penduduk yang sangat besar, dan wilayah geografis Indonesia menjadi lalu lintas data global. Di sini, Pemerintah memiliki kewajiban yang besar dalam menjaga kedaulatan aset tersebut, baik secara ekonomi maupun diplomasi internasional.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar saat ini telah diserbu oleh raksasa teknologi global yang menjadikan penduduk Indonesia sebagai pasar. Kedaulatan digital ini tidak cukup dengan menjaga kedaulatan data pribadi penduduk Indonesia yang telah diinisiasi melaui Undang Undang Pelindungan Data Pribadi (UU-PDP), namun harus dijaga melaui diplomasi ekonomi digital dunia. Salah satunya adalah memastikan program Global Tax Deal dapat memberikan keuntungan bagi negara, karena masyarakat Indonesia telah memberikan pasar dan keuntungan besar bagi raksasa teknologi dunia.

Dalam konteks menjaga kedaulatan, dirgantara atau ruang udara Indonesia yang menjadi lalu lintas data global juga harus menjadi perhatian penting Pemerintah. Perlu dicermati adanya perkembangan teknologi kedirgantaraan terkini, yaitu teknologi Satellite Direct-to-Device atau Direct-to-Cell dan teknologi Reusable Rocket (roket daur ulang) memungkinkan peluncuran satelit dapat dilakukan dengan cepat dan biaya yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Teknologi ini mempersempit entry-to-barrier cost bagi negara-negara berkembang untuk turut serta dalam kancah penguasaan bisnis dan kedaulatan ruang angkasa. Hal ini dapat diamati dari maraknya startup baru di bidang roket dan satelit di Asia, khususnya India, China dan Jepang, yang dalam beberapa dekade sebelumnya, teknologi dan bisnis ini hanya dikuasai oleh Amerika, Russia dan beberapa negara Eropa.

Saat ini hanya satu perusahaan yang mendominasi kedua upstream atau hulu tersebut, yaitu Space X dan anak perusahaannya, Starlink. Starlink telah meluncurkan sebanyak lebih dari 4.000 satelit LEO (Low Earth Orbit) yang menutupi hampir seluruh wilayah planet bumi. Dan dalam waktu dekat, Starlink akan meluncurkan satelit yang memungkinkan akses langsung dari satelit ke handphone, sehingga suatu saat tidak diperlukan lagi BTS dan perangkat backhaul yang mahal untuk menyediakan konektivitas Internet bagi perangkat digital termasuk handphone, desktop dan perangkat IoT (Internet of Things).

Beberapa bulan lalu, Pemerintah Amerika Serikat juga menyatakan akan memanfaatkan jasa Space X untuk memperkuat pertahanan negaranya, dengan program yang disebut Star-Shield. Ini mengindikasikan bahwa wilayah dirgantara, termasuk ruang udara (air-space) dan ruang angkasa (outer-space) menjadi semakin penting untuk dijaga oleh setiap negara, termasuk Indonesia yang memiliki posisi geografis dan geopolitik yang strategis.

Seperti diketahui melalui media, saat ini Kementerian Pertahanan tengah merumuskan peta jalan produksi drone atau Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Medium Altitude Long Endurance (MALE), serta berencana melakukan pembelian drone dari Turki dengan anggaran sebesar Rp4,5 triliun. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat postur pertahanan Indonesia, di antaranya untuk menjaga wilayah laut kita yang sangat luas dari aksi pencurian dan penyelundupan. Namun yang perlu dicatat adalah pengoperasioan drone tersebut masih bertumpu pada konektivitas data satelit, yang lagi-lagi tidak cukup dikuasai oleh bangsa Indonesia.

Indonesia harus dapat menguasai teknologi dan diplomasi internasional untuk menjaga kedaulatan dirgantara dan ekonomi digital, termasuk pengembangan Satellite Direct-to-Device dan Reusable Rocket, dengan tujuan menjaga kedaulatan serta kemandirian infrastruktur konektivitas data.

Sudah saatnya Indonesia melakukan lompatan inovasi, tidak hanya sekedar mengikuti arus utama pengembangan teknologi yang sudah banyak tersedia. Indonesia harus menguasai satu-dua langkah lebih ke depan karena hal ini akan memicu inovasi dan bahkan menjadi catapult (ketapel) inovasi-inovasi lainnya secara lebih cepat serta memperkuat fundamental penguasaan teknologi secara lebih luas dan strategis.

680