Muarajambi, Gatra.com - Perjalanan guru Buddha ternama, Atisha Dipamkara Srijnana ke Suvarnadvipa menandai momen penting yang menggarisbawahi pentingnya wilayah tersebut sebagai penghubung pembelajaran dan praktik Buddhis. Lebih dari satu milenium yang lalu, Atisha memulai perjalanan laut yang ke Sumatera, mengikuti ajaran Serlingpa, seorang guru terkenal abad ke-10 yang tinggalannya sekarang di Muarajambi.
Perjalanannya yang penuh dengan kesulitan ia alami dan lalui, melambangkan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap pertumbuhan spiritual dan pencarian ajaran bodhicita.
Muarajambi, yang terletak di sepanjang Sungai Batanghari, berkembang sebagai pusat penting ajaran Buddha, menarik tokoh-tokoh dan cendekiawan dari seluruh Asia, termasuk Atisha yang menghabiskan 12 tahun belajar mendalam di bawah bimbingan Serlingpa. Periode ini tidak hanya memperkaya perjalanan spiritual Atisha tetapi juga meletakkan dasar bagi pengaruhnya yang besar terhadap agama Buddha mahayana di Tibet dan sekitarnya.
Warisan Muarajambi sebagai tempat pembelajaran agama Buddha dan perannya dalam memfasilitasi pertukaran lintas budaya tradisi Buddha menyoroti keterhubungan komunitas Buddha dan pentingnya situs bersejarah ini.
Banyak yang belum menyadari bahwa Kawasan Muarajambi, yang berdiri sejak era kejayaan Sriwijaya ini, merupakan kompleks cagar budaya Nasional yang luasnya mencapai ribuan hektar sehingga menjadikannya yang tertua dan terluas di Asia Tenggara. Situs ini mengungkap pentingnya nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad, menampilkan kekayaan dan kedalaman tradisi spiritual dan pendidikan di wilayah ini.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Fitra Arda mengatakan, Muarajambi tidak hanya kaya akan sejarah tetapi juga menjadi bukti nyata terciptanya peradaban, terjadinya proses edukasi, dan inovasi penting di masa lalu. “Desain dan tata letak kompleks Muarajambi sangat mirip dengan Nalanda, pusat pembelajaran utama di India, yang menunjukkan bahwa Muarajambi pernah menjadi pusat pembelajaran dan latihan spiritual Buddha yang signifikan,” kata Fitra dalam keterangannya di Cagar Budaya Muarajambi pada 3 Februari 2024.
Kawasan Percandian Muarajambi terbentang luas kurang lebih 12 kilometer persegi dan terbentang sepanjang 7,5 kilometer di sepanjang jalur Sungai Batanghari. Situs ini dipenuhi parit atau kanal kuno, kolam penyimpanan air, dan gundukan yang menampilkan struktur batu bata kuno. Kompleks ini juga merupakan rumah bagi artefak berharga seperti patung Prajnaparamita, dwarapala, dan gajahsimha, yang menampilkan kekayaan budaya dan agama di situs tersebut.
Temuan-temuan ini tidak hanya menyoroti signifikansi spiritual dari kawasan tersebut tetapi juga perannya sebagai pusat pembelajaran dan praktik spiritualitas yang dinamis, memberikan landasan bagi wawasan lebih lanjut mengenai pentingnya sejarah dan arkeologi.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah V, Agus Widiatmoko mengatakan, hasil penggalian arkeologis dan analisis penanggalan karbon di Muarajambi, termasuk di Candi Kotomahligai (salah satu candi di kompleks tersebut), mengungkapkan bahwa kompleks candi tersebut aktif dimanfaatkan sejak abad ke-7 hingga abad ke-13. Penemuan prasasti dan peninggalan lainnya menegaskan pentingnya Muarajambi sebagai pusat pembelajaran.
“Kawasan cagar budaya ini tidak hanya memiliki nilai sejarah dan arkeologi yang tinggi namun juga terus berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para cendikiawan yang memperdalam pengetahuan kebijaksanaan,” kata Agus.
Revitalisasi Candi Muarajambi untuk Mengembalikan Esensinya sebagai Destinasi Edukasi dan Spiritual
Indonesian Heritage Agency (IHA) sebuah badan layanan umum dibawah naungan Kemendikbudristek yang saat ini bertanggung jawab atas pengelolaan 17 museum, 1 galeri, serta 34 situs cagar budaya nasional di Indonesia, mengumumkan telah dimulainya upaya revitalisasi Kawasan Percandian Muarajambi. Inisiatif ini merupakan bagian dari misi IHA yang lebih luas untuk mengembalikan peran situs tersebut sebagai pusat pendidikan dan spiritual bagi masyarakat.
(Plt.) Kepala BLU Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB), Ahmad Mahendra menyatakan, upaya pelestarian ini sejalan dengan dedikasi pemerintah dalam membina kerukunan umat beragama dan pertukaran lintas budaya dengan melestarikan dan merayakan kekayaan tradisi spiritual daerah tersebut.
“Tujuan kami adalah untuk meremajakan fungsi sejarah Muarajambi sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan spiritual, sehingga menegaskan signifikansinya sebagai situs warisan global,” kata Ahmad.
Bukti komprehensif dari Muarajambi, mulai dari arsitektur, prasasti, hingga penemuan arkeologi, mengungkap peran pentingnya dalam sejarah peradaban, menjadi saksi bisu inovasi, pertukaran budaya, dan penyebaran agama Buddha di wilayah tersebut.
Hal ini menegaskan keberadaan dan fungsi Muarajambi sebagai pusat spiritual dan pendidikan tidak hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia.