Home Hukum Ini Ancaman Sanksi bagi Advokat Tak Berikan Probono

Ini Ancaman Sanksi bagi Advokat Tak Berikan Probono

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Jambi, Marlince Evalina Silitonga, S.H., mengatakan, ada ancaman sanksi bagi advokat yang tidak melakukan atau memberikan bantuan hukum cuma-cuma (probono).

“Apakah advokat itu dikenakan sanksi enggak kalau dia tidak melakuan layanan dan bantuan hukum secara probono yang 50 jam?” kata Marlince saat menjadi narasumber dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan IX DPC Peradi Jakbar-STIH IBLAM secara daring pada Jumat malam (15/3).

Marlince menyampaikan, sesuai Pasal 50 Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, ada sanksi bagi advokat yang tidak memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma alias gratis (probono).

“Pasal 50 Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 itu bisa sampai penundaan penerbitan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA),” ujarnya.

Perempuan pegiat hukum dan pemberi bantuan hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lingkungan Jambi ini, menjelaskan, terdapat sanksi bagi advokat yang tidak memberikan bantuan hukum sercara cuma-cuma atau gratis bagi masyarakat kurang mampu atau miskin karena advokat di Indonesia wajib memberikan probono minimal 50 jam dalam setahun.

“Dasar hukum probono di Indonesia adalah UUD 1945, pertama, Pasal 27 Ayat (1), kedua; Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” ujarnya.

Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. DPN Peradi kemudian secara teknis mengaturnya, di antaranya dalam Kode Etik Advokat.

Selanjutnya, Keputusan DPN Peradi No. Kep.016/PERADI/DPN/2009 tentang Pembentukan Pusat Bantuan Hukum PERADI (PBH PERADI) dan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

“Mengapa advokat wajib memberikan layanan dan bantuan hukum probono? Karena telah dimanatkan undang-undang,” ujarnya.

Kemudian, karena advokat merupakan profesi yang mulia atau officium nobile dan advokat hadir sebagai wakil negara dalam memberikan layanan dan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat yang membutuhkan, terutama kaum miskin dan rentan. Probono ini adalah pengabdian advokat.

Adapun sasaran probono, yakni individu yang tidak mampu atau miskin, kelompok atau komunitas yang bergerak untuk kepentingan umum atau masyarakat luas, kedilan, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Orang perseorangan atau kelompok orang yang lemah secara sosial politik atau dengan kebutuhan khusus yang kurang memiliki akses terhadap keadilan dan bantuan hukum,” katanya.

Pertanyaannya, lanjut Marlince, apakah advokat boleh menolak atau mengundurkan diri ketika sedang menangani perkara probono? “Boleh saja, tetapi harus ada syaratnya,” kata dia.

Lebih lanjut Marlince menyampaikan, advokat hanya dapat menolak untuk memberikan probono dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkara yang dimohonkan tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

Alasan lainnya, perkara yang dimohonkan bertetangan dengan hati nurani advokat bukan atas dasar diskriminasi SARA, HAM, dan gender. Permohonan yang dimintakan probono tidak ada unsur hukumnya, sedang menangani perkara probono lain yang berdampak pada berlebihannya beban penanganan perkara.

Selanjutnya, kata Marlince, sudah memenuhi kuota minimal 50 jam atau lebih dari perkara probono yang diwajibkan. Ini dibutikan dengan laporan dan atau keterangan pendukung lainnya.

“Tetapi tetap menerima dan menangani lebih dianjurkan,” ujar advokat yang juga menjabat wakil sekretaris Komunitas Advokat Perempuan (KAP) Jambi itu.

431