Jakarta, Gatra.com - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengajukan Mayjen TNI (Purn.) dr. Roebiono Kertopati selaku pendiri persandian, Dinas Code, Djawatan Sandi dan Lembaga Sandi Negara untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Hal ini dilakukan karena semasa hidupnya Roebiono melakukan tindakan kepahlawanan dan menghasilkan prestasi serta karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa, khususnya di bidang persandian.
Setelah pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta pada 4 April 1946, Menteri Pertahanan (Menhan) Amir Sjarifuddin memberikan tugas kepada dr. Roebiono Kertopati untuk membentuk sebuah Badan pemberitaan Rahasia atau Dinas Code dengan tujuan untuk pengamanan komunikasi di Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Dinas Code inilah yang menjadi cikal bakal BSSN, sehingga 4 April menjadi perayaan Hari Ulang Tahun Persandian/Badan Siber dan Sandi Negara.
Kepala BSSN Hinsa Siburian menyampaikan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. “Setelah masuk BSSN, saya baru mengetahui sosok Roebiono Kertopati yang sangat dihormati terlebih masyarakat persandian. Beliaulah yang mengenalkan semboyan Berani Tak Dikenal,” ujar Hinsa.
Tentang Roebiono Kertopati
Mayjen TNI (Purn) dr. Roebiono Kertopati, lahir dari pasangan Soewardjo Kertopati dan Fatimah pada 11 Maret 1914 di Ciamis, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Purworejo keturunan Tjokronegoro I, pendiri Kabupaten Purworejo, Fatimah berasal dari Sunda/Jawa Barat. Roebiono Kertopati dikenal sebagai dokter, tentara, hingga kepala Lembaga Sandi Negara. Dengan pengalaman merawat para tawanan dan korban perang baik di Indonesia maupun di Australia, Roebiono sadar akan pentingnya menjaga sesuatu yang bersifat rahasia. Ia pun juga menyerap ilmu-ilmu intelijen dari tentara asing yang nantinya digunakan untuk mengembangkan sistem persandian di Indonesia.
Berbagai keberhasilannya di bidang persandian dan memperbaiki jaring komunikasi masa revolusi, membuatnya diangkat menjadi “Bapak Persandian Nasional.” Indonesia memiliki Roebiono Kertopati, Kepala Lembaga Sandi Negara pertama yang menjabat hampir 38 tahun, sejak bernama Dinas Code (1946), Djawatan Sandi (1949), Lembaga Sandi Negara (1972) hingga wafatnya pada 23 Juli 1984.
Sekolah Belanda, Jiwa Indonesia
Roebiono Kertopati melanjutkan sekolah kedokteran Surabaya. Sesampai di Surabaya, ia mendaftarkan diri, tercatat namanya di antara 211 orang calon mahasiswa Nederlandsch Indische Artsen School yang datang dari berbagai wilayah dengan ekspektasinya masing-masing. Roebiono bersama Ibnu Sutowo termasuk dalam daftar 64 nama peserta yang lulus dan diterima sebagai mahasiswa kedokteran.
Ibnu Sutowo merupakan teman angkatan Roebiono ketika masuk di Sekolah Tinggi Kedokteran di Surabaya, mereka berdua mendapat beasiswa. Beasiswa diberikan kepada siswa yang memiliki angka-angka akhir pada sekolah menengah yang tinggi. Capaian yang ditunjukkan Roebiono membuat ia terpilih memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda. Tiap mahasiswa mendapat 55 golden tiap bulan dari pemerintah Belanda melalui Department van Onderwijs, Kunst en Wetenschap. Angka tersebut termasuk cukup untuk uang saku membeli makanan dan kebutuhan dasar lainnya. Setelah bersekolah selama 10 tahun, tercapailah cita-cita dr. Roebiono pada usia 26 tahun menjadi dokter.
Medan-Medan Tempur
Bila pada masa sekolah selama 20 tahun, Roebiono belajar dan membaca berbagai literatur, berpraktik di laboratorium, maka tiba waktunya, penyerapan selama masa pendidikan dibaca oleh masyarakat melalui perilaku pekerjaaannya. Para lulusan sekolah dokter ditempatkan sesuai kondisi dan kebutuhan daerah. dr. Roebiono di tempatkan dalam kesatuan DVG di Surabaya, dalam jabatan sebagai Tyawan Gendad A Malaria Besinddim, beberapa pekan berselang, ia menerima tugas di Irian Barat waktu itu disebut Nederlands Nieuw Guinea, wilayah terbilang jauh dan belum maju.
Menuju Nederlands Nieuw Guinea. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di bidang kesehatan di Nederlands Nieuw Guinea merupakan prioritas kedua (prioritas pertama bidang pendidikan), dimulai sejak 1940. Setahun sebelum dr. Roebiono Kertopati ditempatkan di Merauke. Roebiono mendapat kepercayaan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melayani beberapa daerah di Nederlands Nieuw Guinea.
Dengan pengalaman merawat para tawanan dan korban perang baik di Indonesia maupun di Australia, Roebiono sadar akan pentingnya menjaga sesuatu yang bersifat rahasia. Pengalaman bekerja menjadi dokter di GOW Indisch Arts di Surabaya, di Irian Barat, berlanjut berpindah tugas di Sidney, dengan tugas sebagai tenaga medis pada Allied Intelligence Bureau, membuat Roebiono bersentuhan dengan dunia intelijen.
“Ditopang dengan kemampuan menguasai empat bahasa asing, membuatnya leluasa berkomunikasi menyerap banyak pengalaman termasuk di bidang operasi dan intelijen,” ujar Juru Bicara BSSN Ariandi Putra.
Menjadi Abdi Sandi
Menteri Pertahanan, Amir Syarifoeddin mengetahui adanya seorang dokter yang berpengalaman, maka diangkatlah dr. Roebiono Kertopati sebagai dokter pada Kementerian Pertahanan. Setelah bekerja di Kementerian Pertahanan beberapa waktu lamanya, potensi brilian Roebiono diketahui oleh Menteri Pertahanan RI, sehingga pada 4 April 1946, menugaskan dr. Roebiono Kertopati mendirikan sebuah badan pemberitaan rahasia bagi kepentingan pemerintah, sekaligus merangkap sebagai pimpinannya. Saat itu, Roebiono sudah bekerja sebagai dokter di Kementerian Pertahanan Bagian-B (intelijen).
“Penugasan yang diberikan Amir Sjarifoeddin kepada Roebiono terjadi ketika bergejolaknya revolusi fisik pasca kemerdekaan. Roebiono yang bertumpu pada integritas pengabdian, nasionalisme, daya penalaran dan dilandasi semangat juang yang pantang menyerah kala itu beserta anak buahnya, merintis persandian Republik Indonesia,” papar Ariandi.
Pada masa genting 1946, pemerintah Indonesia memandang perlu menjaga informasi rahasia dari kepentingan musuh. Sementara, Pemerintah Indonesia belum memiliki sistem pengamanan informasi yang baik dan sistem sandi yang dapat mengamankan informasi bersifat rahasia. Kendati ia bukan berlatar belakang pendidikan formal persandian, namun kecakapan intelijen diperoleh saat bertugas sebagai dokter tentara Sekutu di Australia.
Langkah awal melaksanakan perintah Menteri Pertahanan RI, adalah menyusun sistem sandi yang dipergunakan untuk keperluan Pemerintah Indonesia. Karya pertama yang terkenal sampai saat ini adalah Buku Kode C itu terdiri dari sekitar 10.000 kata di dalamnya terdapat tanda baca, awalan, dan akhiran, penamaan, serta bentuk lain yang sering dijumpai dalam teks berita. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Belanda. Buku ini menjadi pedoman para penulis kode diawal Republik berdiri. Sandi-sandi itu selalu diubah tiap minggu atau bulan, untuk menghindari terjadinya kebocoran.
Sistem kode yang dipakai adalah sistem kode angka, berupa bilangan-bilangan sebagai penjumlah dari kode yang telah ada. Angka dari nol sampai sembilan dan pemakaiannya sebagai penjumlah dapat ditentukan sesuka pemakai. Penulisannya terkadang menggunakan tangan kanan dan kiri sekaligus/Ambidextrous.
Sistem Code sandi ini cukup aman dan tidak mudah dikupas oleh pihak lain dan selama digunakan belum pernah bocor ke pihak lain. Sistem ini cukup efektif dalam penyampaian dan pengamanan berita dari dan ke berbagai front perang, baik di daerah perkotaan, pedalaman maupun selama perang gerilya menghadapi pihak Belanda maupun negara-negara sekutu.
Sistem Code sandi ini diperuntukkan juga bagi kepentingan tugas diplomasi internasional ke luar negeri. Selain pembangunan sandi, dibangun juga sarana telekomunikasi dengan mendirikan pemancar-pemancar radio telegrafi di daerah-daerah yang ada aktivitas intelijen dari Kementerian Pertahanan Bagian B.
Mengabdi di Dewan Atom, Telekom, dan Kesehatan
Roebiono dianugerahi kemampuan lebih oleh Yang Maha Kuasa dan dimanfaatkan dengan tepat oleh penerimanya. Selain berperan sebagai abdi sandi, perannya amat besar bagi pengembangan Atom di Indonesia, telekomunikasi, kesehatan dan dipercaya sebagai dokter kepresidenan sejak masa Presiden I sampai wafatnya pada 1984. Kehadiran Letkol dr. Roebiono itu terkait erat dengan fakta bahwa beliau ketika itu tengah memperdalam ilmu radiologi pada Universitas Indonesia bersama temannya, dr. Siwabessy dan perhatiannya akan pengetahuan tentang teknik yang sudah menjadi obsesinya sejak masa kecil.
“Dengan tim yang kuat seperti tersebut, hendak meyakinkan dunia bahwa Pemerintah Indonesia serius mengikuti dampak bahaya nuklir di kawasan dan berkepentingan mengembangkan tenaga nuklir untuk kepentingan pembangunan nasionalnya,” Ariandi memaparkan.
Bersamaan dengan diadakannya konperensi telekomunikasi dunia pada 16 Agustus 1951, Roebiono Kertopati ditugaskan sebagai salah satu delegasi dalam “Konperensi Administrasi Luar Biasa Untuk Perhubungan Radio” yang diadakan di Swiss di bawah pengawasan “International Telecommunication Union.” Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkannya melaksanakan inspeksi persandian di beberapa negara: Swiss, Belgia, Italia, Pakistan, India, Burma. Mengingat pentingnya tugas tersebut, maka Presiden RI menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 135 Tahun 1951 menunjuk Letnan Kolonel dr. Roebiono Kertopati sebagai ketua delegasi.
Sejak 1967, peran Roebiono dalam telekomunikasi Indonesia terhitung penting. Ia menjabat sebagai Dewan Telekomunikasi Indonesia sekaligus mendirikan Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari). Roebiono juga pernah mewakili Indonesia dalam konferensi Intelsat. Intelsat merupakan perusahaan layanan satelit terkemuka diawaki oleh beberapa anggota dari beberapa negara, yaitu Amerika Serikat (AS), Australia, Jepang, Kanada, dan tujuh negara Eropa lainnya. Perusahaan ini berencana meluncurkan Intelsat III yang mengorbit di daerah Samudra Hindia pada 26 Januari 1967.
“Di sinilah peran Roebiono membuktikan kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia mempunyai ekosistem sendiri, dengan berinovasi telekomunikasi nantinya dapat berperan sebagai salah satu tulang punggung dalam bidang telekomunikasi,” ucap Ariandi.
Menjadi Dokter Kepresidenan
Berbekal pengalaman menjadi dokter pemerintah (Hindia Belanda) di Merauke pada 1941, dan pengalaman sebagai anggota Red Corss dan mengurusi tawanan dan korban pertempuran di Sarmi dan Morotai dalam pertempuran antara tantara Sekutu dengan Jepang, menjadi pengalaman berharga mengantarnya ke puncak kepercayaan pemerintah dan militer pada dr. Roebiono menjadi dokter kepresidenan. Dokter kepresidenan dibentuk untuk memberikan layanan pemeliharaan kesehatan bagi Presiden dan keluarganya, Wakil Presiden dan keluarganya, serta mantan Presiden dan istri dan mantan Wakil Presiden dan istrinya. Sebagai dokter kepresidenan Roebiono berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam penugasannya ini dr. Roebiono sering mendampingi Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri yang menjalani perawatan di luar negeri juga dalam negeri. Sebagai dokter kepresidenan, Roebiono memberikan pelayanan kesehatan secara terus menerus selama 24 jam sehari. Setiap harinya ia bekerja sejak 07.30 sampai pukul 11.00 di RSPAD. Setelah itu berlanjut ke Lemsaneg. Ketika Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, dirawat di wisma Yaso, dr. Roebiono terus mendampingi Soekarno. Ketika Jenderal Soeharto menjadi Presiden menggantikan Soekarno, dr. Roebiono terus menjadi anggota tim dokter kepresidenan dan diangkat menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan.
Ketua Tim Forensik G 30 S PKI
Pada 1 Oktober 1965 terjadi peristiwa besar didalangi oleh Gerakan 30 September/G30S dengan menculik tujuh perwira Angkatan Darat. Enam jenderal berhasil diculik, satu orang salah tangkap.
Mengingat besarnya peristiwa tersebut, banyak pihak mendesak agar hasil autopsi dipublikasikan ke masyarakat, atau paling tidak ketua timnya memberi sedikit keterangan, namun sampai akhir hayatnya, dr. Roebiono selaku Ketua Tim Forensik Autopsi Jenazah Korban Pengkhianatan PKI, tetap konsisten dengan sumpah prajuritnya; “Memegang rahasia tentara sekeras-kerasnya.” Dan berpegang pada ketentuan yang berlaku, yaitu hasil autopsi diberikan kepada pihak yang memerintah.
Tim forensik yang diketuai dr. Roebiono Kertopati telah bekerja secara profesional. Hasilnya diserahkan kepada pihak pemberi perintah dan menjadi salah satu barang bukti penting yang dipergunakan dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) memutuskan perkara pemberontakan Gerakan 30 September PKI. “Dengan jabatan sebagai dokter kepresidenan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno sampai masa pemerintahan Presiden Soeharto dan menjadi Ketua Tim Forensik Autopsi Tujuh Jenazah Pahlawan Revolusi menjadi bukti nyata kepercayaan yang tinggi kepada dr. Roebiono Kertopati,” Ariandi memungkasi.