Depok, Gatra.com – Sebagai bagian dari literasi publik, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menggelar bedah buku “Komunikasi Siber” dan Talkshow “Jaga Ruang Siber” dengan tema “Kecerdasan Buatan: Peluang dan Ancaman” di Aula dr. Roebiono Kertopati, Kantor BSSN Sawangan, Depok, Jawa Barat pada Kamis, 30 Mei 2024.
Kegiatan tersebut dibuka oleh Kepala BSSN Letnan Jenderal TNI (Purn.) Hinsa Siburian yang sekaligus bertindak sebagai keynote speaker. Hadir sebagai pembicara diskusi yakni Juru Bicara BSSN sekaligus penulis buku “Komunikasi Siber” Ariandi Putra; Pakar keamanan siber dan forensik digital, Alfons Tanujaya; CEO Zandoid.id sekaligus Founder Komunitas AICO Tommy Teja dan Pakar AI Reynaldi Francois.
Kegiatan bedah buku dan talkshow tersebut turut dihadiri oleh Wakil Kepala BSSN Putu Jayan Danu Putra, pejabat tinggi madya/pratama, pejabat struktural/fungsional, serta staf dari perwakilan unit kerja di lingkungan BSSN.
Kepala BSSN Hinsa Siburian menyampaikan apresiasinya dengan terbitnya buku “Komunikasi Siber” yang ditulis langsung oleh insan BSSN berdasarkan pengalaman dan kepakarannya. Menurut Hinsa, terdapat dua hal yang ditekankan dalam buku “Komunikasi Siber” tersebut.
Pertama, buku tersebut menceritakan perkembangan teknologi internet dan ancaman yang mengintai di dalamnya. Kedua, buku tersebut mengajak semua pihak agar memanfaatkan ruang siber sebagai sarana berkonunikasi dan berinteraksi dengan bijak. “Semakin canggih teknologi maka akan semakin besar pula tingkat ancamannya. Dan ini akan terus berjalan linear seiring dengan perkembangan zaman,” kata Hinsa saat membuka kegiatan.
Juru Bicara BSSN sekaligus penulis buku “Komunikasi Siber” Ariandi Putra menyampaikan diskusi tentang Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) menjadi diskusi yang tidak pernah habis. Adagium “AI: Angle or Demon?” mengemuka di antara praktisi siber. “Kita butuh topik khusus tentang AI. Tanpa disadari kita telah menggunakan AI setiap hari. Pada saat bangun tidur menggunakan internet, menggunakan social media, menggunakan aplikasi Google Maps. Itu secara tidak langsung sudah AI,” kata Ariandi.
Penerapan AI menurutnya sudah menjamah hampir ke semua lini kehidupan. Layanan telemarketing dan telemedis menurutnya merupakan contoh nyata penggunaan AI dalam keseharian. “Beberapa pekerjaan yang tidak kita bayangkan kini bisa digantikan dengan robotik. Bagaimana AI memegang peranan penting dalam kehidupan. Maka tidak cukup menjadi general saja, kita harus menjadi spesialis AI,” tutur Ariandi.
Menurutnya, AI sebaiknya tidak dianggap sebagai ancaman tetapi sebuah peluang. Hanya saja perlu tatanan etik atau komunikasi ruang siber yang membentengi aktivitas AI. Ariandi mencontohkan mahasiswa menyusun skripsi dan tesis lalu dia meminta bantuan AI lewat Chat GPT dalam pengerjaannya. “Di sana muncul persoalan “ethic of plagiarism”. Etik ini poin paling penting kita kemukakan dalam komunikasi siber,” katanya.
AI, lanjut Ariandi, sejatinya digunakan untuk hal-hal yang menunjang pekerjaan dan tidak digunakan untuk hal-hal negatif. Penggunaan AI menurutnya juga masuk dalam wilayah yang diatur di UU ITE. “Jadi, ada kemunculan teknologi dan di sisi lain ada bahaya dari teknologi tersebut. Semakin mudah aplikasi digunakan maka ancaman keamanannya juga semakin besar. Apakah kita mau berdamai dengan kecanggihan aplikasi ini? Di sana komunikasi siber itu menjadi penting,” ia menambahkan.
Pakar keamanan siber dan forensik digital, Alfons Tanujaya menyatakan, AI ibarat seperti motor yang bisa dipakai untuk banyak hal. “Sepeda motor dapat digunakan untuk antar anak sekolah. Di sisi lain juga dipakai untuk begal. Yang perlu dipahami adalah manfaat AI jauh lebih besar dari mudharatnya. Ancamannya bisa 10%, tapi manfaatnya 90%,” kata Alfons.
Menurutnya, dalam keseharian AI sudah terimplementasi ke bermacam aktivitas. Misalnya, bidang lalulintas ada penggunaan lampu otomatis. Lalu, AI juga digunakan dalam otomasi industri. Lebih lanjut, di birokrasi atau pemerintahan, AI juga digunakan untuk membantu penyelesaian kebijakan.
Sisi lain dari AI adalah munculnya fenomena Deepfake. Deepfake sendiri adalah salah satu tipe AI yang digunakan untuk membuat foto, audio, video, dan hoaks yang cukup meyakinkan. “Dalam Deepfake itu video dan suara seseorang dengan gampang diduplikasi. Terkait literasi digital, kita tidak perlu menjadi seorang ahli IT untuk menilai konten. Ketika kita dapat share video yang mencurigakan maka tinggal cari di media konvensional. Apabila enggak ketemu, maka 99% itu fake,” kata Alfons.
Sementara itu, Founder Komunitas AICO Tommy Teja, menyatakan AI saat ini juga digunakan dalam industri kreatif. Sebagai sosok yang bergerak di dunia konten kreator, Tommy mengaku penggunaan AI membawa dampak positif bagi peningkatan produktivitas. “AI bukan menggantikan tetapi membuat kerja-kerja kita bisa lebih efektif dan efisien. Sehingga kita bisa lebih canggih lagi dalam membikin konten,” pungkasnya.