Jakarta, Gatra.com – Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa perhitungan kerugian Negara dengan perekonomian Negara adalah dua hal yang berbeda.
Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan pernyataan tersebut dalam keterangan pada Selasa (9/10). Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 25/PUU-XIV/2016 menghilangkan frase “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia menyampaikan, putusan tersebut menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, sehingga kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss). Ketentuan tersebut menjadi polemik di berbagai kalangan.
Menurutnya, dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan, tetapi juga melibatkan korporasi (badan hukum) dan konglomerasi (gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan), sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan.
“Dengan demikian, perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi,” ujarnya.
Perhitungan kerugian tindak pidana korupsi juga harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan Negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya.
Di sisi lain, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal.
Selain itu, kata Burhanuddin, kerugian juga memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.
Selanjutnya, kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan.
“Hal itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala. Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya,” ujarnya.
Atas dasar itu, Burhanuddin dalam setiap kesempatan menyampaikan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian Negara dan perekonomian Negara, seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
Orang nomor satu di Korps Adhyakasa ini, menyampaikan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya.
Menurutnya, Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum yang selangkah lebih maju dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, yakni dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.
“Hal itu semua diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah,” ujarnya.
Sedangkan untuk mencegah korupsi, lanjut Burhanuddin, perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum. Oleh karenanya, dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan Negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary.
Jaksa Agung menekankan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar Negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan Negara secara masif.
“Sebab, sudah banyak Negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis, dan terorganisir bahkan sudah lintas negara,” katanya.
Meski demikian, kata Burhanuddin, bangsa ini khususnya penegak hukum tidak boleh kalah dengan koruptor. “Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama (public enemy),” ujarnya.