Jakarta, Gatra.com – Peneliti kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dari Setara Institute, Harkirtan Kaur, mengatakan, polisi harus menindak tegas pelaku penyerangan terhadap mahasiswa Unpam yang sedang menjalankan ibdah Rosario.
Harkirtan di Jakarta, Rabu (8/5), menyampaikan, penindakan tegas terhadap para pelaku tersebut sangat penting agar memberikan efek jera dan agar tidak terulangnya kejadian serupa.
“Harus memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran KBB,” ujarnya.
Setara Institute mengapresiasi upaya pihak kepolisian mendalami kasus penyerangan dan intimidasi terhadap sejumlah mahasiswa Unpam, Tangerang Selatan (Tangsel) tersebut.
“Upaya pihak kepolisian untuk mendamaikan para pihak mesti kita apresiasi. Namun demikian, kepolisian perlu memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, dalam pemantauan Setara Institute selama ini, lemahnya penegakan hukum sering terjadi berkenaan dengan pelanggaran KBB dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban.
“Setara Institute mendorong seluruh pihak untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual mesti dihentikan,” kataya.
Setara Institute juga meminta para pihak untuk melakukan upaya-upaya cooling down. Setara Institute juga mendesak para pihak untuk menolak politisasi terkait kasus tersebut dalam rangka dinamika elektoral, khususnya terkait Pilkada pada November 2024 mendatang.
Selain itu, Setara Institute mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan lanjutan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, jaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi.
“Berkenaan dengan banyaknya kasus pembubaran, persekusi, dan pelanggaran-pelanggaran lain atas KBB, agenda besar yang harus menjadi perhatian bersama yaitu membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat,” ujarnya.
Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, yang mana wali kota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi.
“Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat kecamatan dan RT/RW,” katanya.
Lebih dari itu, lanjut Harkirtan, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial. Seluruh elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan Majelis-Majelis Keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional, kesenian, dan sebagainya, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi.