Yogyakarta, Gatra.com - Presiden terpilih Prabowo Subianto diminta merombak program transisi energi yang selama ini dinilai belum terpenuhi. Kebijakan transisi energi Presiden Joko Widodo dianggap masih setengah hati.
"Hingga akan mengakhiri pemerintahan pada Oktober 2024, program transisi energi Presiden Jokowi belum mencapai target ditetapkan," kata pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, Sabtu (11/5).
Ia menjelaskan target bauran energi baru-terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 tidak tercapai lantaran pada 2023 baru mencapai 12,8 persen. Bukannya menggeber pencapaian, pemerintah justru menurunkan target EBT menjadi 17 persen pada 2025. "Kendati diturunkan, target EBT itu masih sulit dicapai karena tinggal satu tahun," ucap Fahmy.
Menurutnya, salah satu penyebab tidak tercapainya target EBT itu adalah kebijakan transisi energi setengah hati yang cenderung kontradiktif dengan percepatan program transisi energi. Salah satunya, pemerintah masih mentolerir pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Data pada akhir 2020 menunjukkan bauran energi primer untuk Pembangkit Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih didominasi oleh batubara yakni sebesar 57,22 persen, disusul gas 24,82 persen, dan BBM 5,81 persen. "Porsi EBT baru mencapai sebesar 12,15 persen," tandasnya.
Untuk mempercepat program transisi energi, Fahmy menjelaskan, PT Pertamina dan PLN sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya pengembangan EBT, kendati hasilnya masih sangat minim. Program bio-diesel dan gasifikasi batubara Pertamina mengalami kegagalan setelah partner dari Italia dan USA hengkang dari Indonesia.
"Pengembangan bio-diesel merupakan program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," ujarnya.
Adapun program PLN dalam pengembangan EBT relatif berhasil karena telah menyelesaikan 28 pembangkit EBT baru, program dedieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi, hingga pengembangan hidrogen hijau pada 2023.
Selain itu, proyek fenomenal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp) juga telah diresmikan. Namun, Fahmy mencatat, program pensiun dini PLTU batu bara belum tuntas lantaran kesulitan penyediaan dana dan teknologi.
Untuk itu, Fahmy menyatakan pemerintahan baru nanti mesti mengambil kebijakan yang lebih baik dalam mendukung peningkatan EBT.
"Presiden terpilih Prabowo Subianto harus berani merombak kebijakan transisi energi Jokowi setengah hati yang kontradiktif dengan percepatan program transisi energi," katanya.
Salah satunya, tandas Fahmy, mewajibkan pengolahan batu bara yang merupakan energi kotor menjadi energi bersih. Selain itu, Pemerintah harus memberikan kemudahan dan insentif bagi investor dalam pengembangan EBT di Indonesia. "Tanpa perubahan kebijakan itu, jangan harap target zero carbon pada 2060 dapat dicapai," ujarnya.