Jakarta, Gatra.com – Genre horor di industri perfilman Tanah Air masih menjadi primadona. Film-film bertema menyeramkan kerap mengundang jutaan pasang mata untuk menonton pertunjukan mistis di layar bioskop. Meski begitu, menjamurnya film horor di layar lebar Indonesia kerap menuai kritik. Tidak sedikit yang merasa industri perfilman dalam negeri membosankan karena “horor melulu”.
Namun, salah satu aktris ternama Indonesia, Luna Maya, sempat menilai bahwa menjamurnya film horor justru bisa dijadikan sebagai identitas industri perfilman Tanah Air. Selain menjadi identitas, ia memandang horor juga sebagai kebanggaan dan warna tersendiri dalam perfilman dalam negeri.
“Mungkin Amerika tuh punya film action. Kalau Bollywood punya film musikal dan love story-nya. Indonesia tuh horor. Memang udah Indonesia banget gitu. I think kita juga harus embrace dan merayakan bahwa kita punya hal yang sangat Indonesia,” kata Luna seperti dilaporkan Gatra.com pada 25 November 2023 lalu.
Luna merasa ada sensasi yang berbeda ketika seseorang menonton horor. Itulah yang menurutnya yang dicari penggemar horor di Indonesia. “Kalau nonton film horor itu sebenernya yang dicari itu adrenalin dan kengerian dan bagaimana sensasi nonton itu bisa sampai ke hati. Itulah yang memang film horor diciptakan biar ada sensasi itu,” ujarnya.
Pengamat film dan budaya pop, Hikmat Darmawan, mengatakan bahwa sebetulnya genre film horor sudah menjadi salah satu identitas atau wajah film Indonesia sejak dekade 1980-an silam.
“Horor Indonesia sudah jadi identitas sejak tahun 80-90-an. Sudah menjadi salah satu identitas film kita. Salah satu wajah Indonesia di film itu horor,” kata Hikmat kepada Gatra.com Selasa malam, (22/5/2024).
Hikmat mengambil contoh film Jaka Sembung Sang Penakluk garapan sutradara Sisworo Gautama Putra yang dirilis pada tahun 1981. Film tersebut memang berstatus film aksi. Namun, tak sedikit yang menilai bahwa film itu juga menggabungkan unsur-unsur horor atau supranatural dalam penyajiannya.
Film-film horor lain yang cukup populer di dekade 1980-an lainnya adalah Mistis/Leak (1981) hingga Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988). Dua-duanya merupakan garapan sutradara Tjut Djalil. Namun, menurut Hikmat, film-film semacam ini sempat dipandang sebelah mata oleh para elit budaya kala itu.
Hikmat berkisah, pada dekade-dekade tersebut, para elit budaya sepakat memasarkan film-film Indonesia yang dianggap bermutu ke pasar dunia. Melansir Antara, upaya tersebut termasuk dalam “Program Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Karya Indonesia di Luar Negeri” pada tahun 1981 yang diinisiasi pemerintah saat itu.
Tujuan dari program tersebut adalah meloloskan film-film Indonesia ke kompetisi film internasional. Menurut Hikmat, film-film yang dipasarkan kala itu adalah film-film yang dipandang lebih representatif dan mengandung unsur edukasi kultural tentang Indonesia. Ia menyebut beberapa di antaranya adalah karya-karya sutradara kondang Teguh Karya.
Namun, kata Hikmat, film-film tersebut akhirnya tidak laku. Justru, katanya, yang laku adalah film-film eksploitatif seperti Mistik/Leak atau Jaka Sembung Sang Penakluk. “Yang keberatan begitu kan para elit budaya kayak dulu orang enggak menganggap film Jaka Sembung, terus yang layak menjadi wajah film Indonesia itu cuma film-film Teguh Karya,” katanya.
Seperti diketahui, Teguh Karya merupakan seorang sutradara film kawakan di era itu. Pria bernama asli Steve Liem Tjoan Hok itu dikenal sebagai maestro perfilman Tanah Air karena telah enam kali menyabet Piala Citra kategori sutradara terbaik di Festival Film Indonesia (FFI).
Menurut Hikmat, film-film Teguh Karya kala itu dipandang lebih cocok menjadi representasi Indonesia di kancah perfilman dunia. Namun, kata Hikmat, nasib berkata lain. Pasalnya film-film pilihan para elit budaya kala itu tidak begitu laris di pasar internasional.
“Pada saat yang sama ada market, jualan nih. Si film bermutu tadi enggak dapet market, gak masuk kompetisi. Waktu itu film Jaka Sembung dikirim ke market, dapat 11 negara yang beli,” ujar Hikmat.
Hikmat menuturkan bahwa respons positif justru bermunculan dari dunia internasional terhadap film-film yang dianggap kurang representatif bagi Indonesia di kancah dunia kala itu, seperti Jaka Sembung Sang Penakluk atau Leak. Efek praktis yang masih amatir dan dana terbatas tidak membuat film-film Indonesia dianggap remeh oleh penikmat film mancanegara.
“Wah crazy Indonesia ini ya. Enggak kebayang bikin kayak gini,” begitu kata Hikmat menirukan respons bule-bule kala itu.
Kemudian dari sini jugalah muncul sebutan “Crazy Indonesia” untuk film-film Indonesia. Menurut pengamat film Ekky Imanjaya, sebutan itu keluar dari mulut antropolog visual Amerika Serikat (AS), Karl Heider.
Menurut Karl, ada beberapa karakteristik yang khas dari film-film Indonesia kala itu. Beberapa di antaranya adalah munculnya unsur-unsur cerita legenda dan kompeni. Kondisi inilah yang membuat penggemar cult di Negeri Paman Sam menyebut film-film Indonesia dengan sebutan “Crazy Indonesia”.
“Dana terbatas, practical effect yang sangat amatir, tapi ngefek karena imaginasinya luar biasa. Dan itulah kenapa sejak itu ada sub-genre Crazy Indonesia,” ujar Hikmat.
Kepopuleran film-film Indonesia di kancah dunia kala itu juga terdapat andil besar Mondo Macabro, sebuah perusahaan distribusi film asal Britania Raya. Perusahaan tersebut memproduksi DVD berisikan film-film Indonesia. Perusahaan ini pulalah yang mengenalkan film Jaka Sembung Sang Penakluk ke penikmat film internasional.
Saking populernya film Jaka Sembung, tutur Hikmat, sang pemeran utama kala itu, Barry Prima, mengaku terkejut karena memperoleh sorotan internasional. Menurutnya, Barry tidak menyangka bisa diwawancara media asing karena filmnya kala itu dipandang sebelah mata di dalam negeri. “Masa film beginian gue diwawancara bule, sih?” kata Hikmat menirukan Barry.
Hingga kini, film horor masih menjadi yang paling dinanti-nantikan penikmat film Tanah Air. Meski begitu, menjamurnya film-film horor di masa ini tidak lepas dari kritik penikmat film, tak terkecuali film-film horor berlatar ritual agama Islam.
Hikmat juga melihat memang ada kelatahan banyak produser film terkait horor. Ketika suatu film horor dengan gimmick-gimmick keagamaan laris di pasaran, produser-produser lain ikut berlomba-lomba memproduksi film-film serupa, meski jika harus sampai membuat adegan-adegan yang mengada-ngada. “Semua ritus keagamaan dipakai. Itu kan jadinya eksploitasi agama juga,” katanya.
Meski begitu, Hikmat mengaku dia bukan tergolong orang yang kerap melontarkan kritik pedas terhadap film-film horor masa kini. Ia justru melihat bahwa pengkritik film horor saat ini seperti para elit budaya di dekade 1980-an.
Hikmat juga mengatakan bahwa masyarakat yang banyak mengkritik kualitas film-film horor masa kini biasanya justru merupakan orang-orang yang tidak pernah menonton film-film tersebut. “Itu biasanya orang yang enggak nonton, atau seleranya sempit,” katanya.