Home Kesehatan Perangi Stunting, Pemerintah Perkuat Kolaborasi dan Optimalkan Anggaran

Perangi Stunting, Pemerintah Perkuat Kolaborasi dan Optimalkan Anggaran

Jakarta, Gatra.com- Pemerintah Indonesia terus bergerak maju dalam memerangi stunting, dengan fokus pada kolaborasi dan optimalisasi sumber daya. Hal ini dilakukan untuk dapat mengejar target menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden, Suprayoga Hadi menyampaikan, untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kolaboratif dan optimalisasi anggaran telah diimplementasikan.

"Dari sisi kelembagaan di Perpres  No. 72 Tahun 2021 sudah cukup jelas kita punya yang namanya Tim Percepatan Penurunan Stunting di setiap tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat desa dan kelurahan," ujar Suprayoga dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Tantangan Kejar Stunting Turun Jadi 14%', Rabu (29/5).

Ia memaparkan tim percepatan ini berfungsi untuk mengoordinasikan berbagai upaya penurunan stunting secara lebih efektif dan kolaboratif. Tim ini dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai Ketua Pengarah, dengan dukungan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait.

Menurutnya, pembentukan tim ini tidak terlepas dari salah satu tantangan utama dari upaya menurunkan stunting secara signifikan, yakni keberagaman komitmen di tingkat daerah. Sebab tidak semua daerah memiliki perhatian yang sama terhadap masalah stunting, yang menyebabkan perbedaan signifikan terhadap hasil di lapangan.

"Ada daerah yang betul-betul concern, seperti Sumedang yang menjadi contoh nasional. Tapi, ada juga daerah yang masih menunggu arahan dari pusat," ungkap Suprayoga. Hasilnya, dalam kurun waktu dua tahun, prevalensi stunting nasional mengalami penurunan signifikan, dari 24,4 persen di 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022.

Namun, Suprayoga mengingatkan bahwa perjalanan mencapai target 14 persen tersebut masih panjang. Ia menekankan pentingnya optimalisasi sumber daya, termasuk anggaran yang telah dialokasikan.
"Kolaborasi pentahelix, yang melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, pengusaha, dan media, juga menjadi kunci untuk mencapai target penurunan stunting yang ambisius," tegasnya.

Salah satu aspek penting dalam upaya penurunan stunting adalah alokasi dan optimalisasi anggaran. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp30 triliun dari APBN, termasuk Rp23 triliun untuk Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di samping itu, dana desa juga dialokasikan sebesar 10 persen dari total Rp70 triliun untuk program-program penurunan stunting.

Namun begitu, Suprayoga mencatat bahwa meskipun anggaran telah dialokasikan, implementasi di daerah tidak selalu efektif. Hal ini dikarenakan beberapa daerah tidak memanfaatkan dana ini dengan baik, sehingga pengawasan dan pendampingan terus dilakukan untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Maria Endang Sumiwi menekankan, pentingnya keterlibatan semua pihak secara seirama untuk mencapai hasil yang optimal dalam menekan angka stunting di Indonesia. "Kementerian Kesehatan berusaha agar semua pihak yang yang terlibat bisa seirama. Seirama itu artinya nanti kita bersama-sama dengan sasaran yang paling tepat," katanya.

Agar upaya tersebut dapat berjalan, ia menyebutkan, pihaknya berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data yang dimiliki. Hal ini dikarenakan data yang akurat dan terkini sangat penting dalam upaya penurunan stunting. "Kami berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data-data di Kemenkes supaya pihak yang ingin berkontribusi dapat langsung bergerak," tambah dia.

Di sisi lain, Advisor Tata Kelola Pemerintahan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, USAID-ERAT Programme, George Hormat, menyoroti pentingnya data yang andal dan konsisten untuk mendukung pengambilan kebijakan yang tepat. Menurutnya, saat ini monitoring data yang tersedia banyak kurang sesuai.

"Contohnya, data usia produktif sering kali tidak sejalan dengan data kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak tepat waktu. Perbedaan pemahaman mengenai indikator kunci seperti kehamilan tidak dikehendaki dan kehamilan berisiko juga dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil," paparnya.

Di luar pentingnya data yang seirama, ia menilai kolaborasi antara berbagai sektor menjadi salah satu praktik baik yang harus tetap dilanjutkan. Salah satunya kerja sama USAID bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di NTT.

"Kolaborasi Kominfo, BKKBN, Kesehatan dan Bappeda mendorong masyarakat terlibat, terutama lembaga agama, tokoh agama edukasi," pungkas George.

37