Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Tambag (KSST) menanggapi pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) bahwa lelang satu paket saham PT Gunung Bara Utama (PT GBU) kali pertama pada 21 Desember 2022 dengan harga dasar Rp3.488.000.000.00 (Rp3,4 triliun) gagal karena sepi peminat.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, yang tergabung dalam KSST pada Kamis (30/5), menyampaikan, pihaknya mempunyai data bahwa ada 3 penawar lain terhadap satu paket saham PT GBU tersebut.
“Kami memiliki informasi setidaknya ada 3 penawar lain yang minat dengan nilai penawaran sekitar Rp4 triliun,” katanya.
Lebih lanjut Sugeng menyampaikan, pihaknya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa ketiga penawar yang mengajukan penawaran terhadap saham PT GBU itu.
“Untuk membuat terang apa yang menyebabkan ketiga penawar itu tidak dapat ikut lelang,” ujarnya.
Sugeng meyakini bahwa pelelangan ulang pada 8 Juni 2023 tersebut diduga keras sebagai modus atau akal-akalan untuk merendahkan (mark down) harga limit lelang saham PT GBU dari Rp3.488.000.000.000 (Rp3,4 triliun) menjadi Rp1.945.873.000.000 (Rp1,945 triliun).
Penurunan drastis limit penawaran lelang saham PT GBU sebanyak 1.626.383 lembar dengan nilai pasar Rp1,945 triliun tersebut merupakan hasil appraisal yang dilakukan KJPP Tri Santi & Rekan. Sedangkan appraisal pada lelang pertama senilai Rp3,4 triliun hasil perhitungan KJPP Syarif Endang & Rekan.
Menurut Sugeng, KJPP Tri Santi & Rekan itu diduga tidak memiliki kapabilitas dan pengalaman dalam membuat appraisal tambang sebagaimana rekam jejak pada rentang 2023?–2024, tidak ada satu pun yang terkait pertambangan.
Menurut Sugeng, KJPP tersebut hanya berpengalaman melakukan appraisal terhadap perusahaan perdagangan umum. Ia lantas menyenut sejumlah perusahaan perdagangan umum yang sempat menjadi klien KJPP Tri Santi & Rekan.
Sugung menduga bahwa KJPP tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membuat appraisal tambang jika mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor: 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik.
“KPK harus menelisik siapa sebenarnya yang memesan KJPP Tri Santi & Rekan yang tidak memiliki kapabilitas tersebut untuk membuat appraisal saham PT GBU, yang bergerak dalam bidang pertambangan batubara,” ujarnya.
Lebih lanjut Sugeng menyampaikan bahwa klaim pelelangan pertama sepi peminat juga janggal. Pasalnya, berdasarkan hasil Dialog Publik yang diselenggarakan KSST tanggal 15 Mei 2024, terungkap bahwa PT GBU memiliki fasilitas pertambangan dan infra struktur hauling road yang nilainya fantastis.
Berdasarkan Laporan Keuangan, Audited KAP Anwar & Rekan per-31 Desember 2018, nilainya Rp1,770 triliun. Nilai fasilitas pertambangan dan infra struktur bertambah besar, lantaran pada tanggal 5 Juli 2019, Adaro Capital Limited memberikan pinjaman dana sebesar US$ 100 juta atau setara Rp1,4 triliun kepada PT GBU melalui PT TRAM Tbk, untuk membangun jalan hauling dari PT GBU menuju wilayah kerja tambang milik Adaro Group.
“Berdasarkan fakta ini, nilai total pembiayaan fasilitas pertambangan dan infra struktur milik PT GBU adalah sebesar Rp3,170 triliun. Nilai total keekonomian dan/atau nilai pasar wajar (fair market value) satu paket saham PT GBU sebesar Rp12 triliun adalah logis dan rasional,” ujarnya.
Sedangkan soal bantahan Kejagung bahwa pelaporan Jampidsus ke KPK adalah keliru, Sugeng menegaskan, pihaknya tidak ambil pusing karena mempunyai bukti kuat. “Kami memiliki bukti dan alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Atas dasar itu, Sugeng meminta KPK segera melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang dilaporkan pada Senin (27/5/2024). Selain itu, memeriksa 3 penawar lelang sesi pertama yang diduga ditolak oleh petinggi Kejagung dan KJPP Tri Santi & Rekan yang menurunkan limit harga pelelangan saham PT GBU.