Home Internasional Opresi Israel terhadap Palestina Dimulai sejak Tahun 1948, bukan Setelah 7 Oktober 2023

Opresi Israel terhadap Palestina Dimulai sejak Tahun 1948, bukan Setelah 7 Oktober 2023

Jakarta, Gatra.com – Bagi pria asal Palestina, Zuhair Al-Shun, sejarah penderitaan warga Negeri Para Nabi itu, tidak dimulai saat serangan retaliasi Israel terhadap Hamas usai 7 Oktober 2023 lalu. Namun, ia mengatakan opresi Israel terhadap Palestina sudah dimulai sejak 76 tahun lalu, atau tahun 1948.

Pria berusia 56 tahun tersebut kini menjadi seorang diplomat, dan merupakan Duta Besar (Dubes) Palestina untuk Indonesia sejak Januari 2018. Ia kini berkantor di Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam peringatan Nakba ke-76 pada pertengahan Mei 2024 lalu, ia mengatakan bahwa penderitaan rakyatnya bukan seumur jagung, tetapi sudah lebih dari tiga perempat abad silam.

"Apa yang terjadi di Palestina sekarang bukan seperti apa yang orang-orang katakan, yakni sejak 7 Oktober 2023. Tidak. Ini sudah terjadi sejak 76 tahun lalu," ujar Zuhair dalam konferensi pers di gedung Kedubes Negara Palestina di Menteng, Jakarta, Jumat (10/5/2024).

Nakba sendiri merupakan peristiwa di mana terjadi pengusiran besar-besaran yang dilakukan militer Israel terhadap rakyat Palestina dari tanahnya pada tahun 1948. Korban jiwa dari pihak Palestina kala itu berjumlah kurang lebih 15.000 orang, dan sebanyak 750.000 warga Palestina lainnya mengungsi. Peristiwa naas yang biasa diperingati pada tanggal 15 Mei setiap tahun itu juga menandakan pembentukan negara Israel.

Bagi sejarawan asal Israel, Illan Pappe, apa yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina di masa-masa awal pembentukan negara itu, yakni sekitar 1948, merupakan tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing).

Pappe merujuk, salah satunya, ke ensiklopedia Hutchinson dalam mendefinisikan pembersihan etnis. Menurut rujukan tersebut, pembersihan etnis merupakan tindakan pengusiran secara paksa dengan tujuan agar suatu populasi di suatu wilayah atau teritori yang awalnya berasal dari beragam etnis menjadi homogen atau satu macam etnis saja.

“Tujuan pengusiran ini adalah untuk menyebabkan terjadinya evakuasi sebanyak mungkin penduduk,” kata Pappe dalam bukunya berjudul The Ethnic Cleansing of Palestine yang terbit pada 2006 silam.

Definisi yang kurang lebih sama juga diadopsi oleh Komite Ahli PBB pada tahun 1994. Mereka mendefinisikan pembersihan etnis sebagai kebijakan yang didesain oleh satu kelompok etnis atau agama tertentu untuk menyingkirkan populasi sipil kelompok etnis atau agama lainnya dari area geografis tertentu dengan cara yang brutal dan penuh teror.

Meski Nakba diperingati setiap taggal 15 Mei setiap tahun, awal malapetaka Palestina justru dimulai lebih dari sebulan sebelum 15 Mei 1948. Tindakan pembersihan etnis Israel dimulai pada 1 April 1948 dengan menyerang Qastal, salah satu desa di sekitar Yerusalem. Operasi militer ini disebut juga sebagai Operasi Nachson.

Setelah Qastal jatuh pada 9 April 1948 ke tangan Israel, militer Zionis melancarkan serangannya ke desa dan kota Palestina lainnya. Desa-desa yang menjadi korban selanjutnya meliputi Deir Yassin, Sirin, Marj Ibn Amir, hingga Ayn al-Zaitun. Usai meruntuhkan pedesaan, Israel juga mulai menyerang area perkotaan, termasuk Tiberias, Haifa, Safad, Acre, Baysan, hingga Jaffa.

Bagi Pappe, niatan pembersihan etnis Israel terhadap Palestina jelas tersirat dalam sebuah surat dari Perdana Menteri Israel pertama, David Ben-Gurion, yang dikirim ke petinggi Hagana, atau kelompok paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi cikal-bakal Israel Defence Forces (IDF) kini.

“Pembersihan Palestina tetap menjadi tujuan utama dari Rencana Dalet,” tulis Ben-Gurion dalam suratnya dikutip oleh Pappe.

Rencana Dalet atau Plan Dalet merupakan tahapan pamungkas dan paling brutal dari rencana militer Zionis Israel dalam menduduki Palestina, sekaligus menjadi bagian dari persiapan pendirian negara Yahudi Israel.

Namun, tidak sedikit yang menilai, termasuk Zuhair, bahwa peristiwa Nakba juga merupakan buntut dari implementasi yang buruk dari Resolusi PBB Nomor 181. Resolusi tersebut berisi pembagian dua wilayah yang kini sedang diduduki oleh Israel.

Sebesar 45% wilayah tersebut dialokasikan kepada negara Palestina, 55% lainnya diberikan kepada Israel. Sementara itu, Yerusalem berada di bawah kontrol internasional. Wilayah ini disebut juga sebagai orpus separatum atau entitas yang terpisah.

Akan tetapi, yang terjadi di pada tahun 1948, tidak sesuai dengan perjanjian di atas kertas. Israel mampu menguasai Yerusalem Barat. Warga Palestina yang bermukim di sana terusir. Jumlah yang terusir ditaksir mencapai 28.000 orang. Sementara Yerusalem Timur, termasuk kota Tua dan Tepi Barat, dikontrol oleh Jordania.

Zuhair memandang, resolusi tersebut tidak dipatuhi dengan baik oleh pihak Israel. Sebagai bukti, ia mengatakan hampir seluruh wilayah Palestina kini berada di bawah kontrol otoritas Zionis. "Dan sekarang semua teritori itu berada di bawah pendudukan Israel," ujarnya.

Sementara itu, Dubes Palestina untuk Britania Raya, Husam Zomlot, bahkan mengatakan bahwa penderitaan rakyat Palestina sudah terjadi jauh lebih lama lagi dari tahun 1948. Ia mengatakan opresi Israel sudah dimulai 107 tahun lalu, atau pada tahun 1917.

“Semua ini dimulai ketika Britania menjanjikan tanah kami kepada pihak lain tanpa berkonsultasi kepada kami dan mengubah kami, bangsa Palestina, menjadi minoritas non-Yahudi,” kata Zomlot kepada media Turki, Anadolu.

Yang Zomlot maksud adalah Deklarasi Balfour di tahun 1917. Deklarasi tersebut berisi surat dari pemerintah Inggris yang dikirim kepada tokoh pemimpin Yahudi Inggris bernama Rothschild. Dalam isi surat itu, Inggris menjanjikan kaum Yahudi bahwa tanah Palestina akan dijadikan “national home” atau rumah bangsa kaum tersebut.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1923, Liga Bangsa-Bangsa menyerahkan Mandat atas Palestina kepada Inggris. Mandat tersebut berisi wilayah yang kini terdiri dari Yordania, Israel, dan Palestina, yang diserahkan kepada administrasi Inggris hingga tahun 1948. Dengan demikian, dalam kurun waktu tersebut terjadi eksodus orang Yahudi besar-besaran dari Eropa ke Palestina.

Sebagai konteks, pada tahun 1922, jumlah orang Yahudi di Palestina berjumlah 83.794 jiwa. Lalu pada tahun 1947, populasi kaum Yahudi di tanah Palestina berada di kisaran angka 630.000 jiwa. Dengan kata lain, dalam kurun waktu 25 tahun tersebut, populasi warga Yahudi di Palestina meningkat delapan kali lipat.

Merujuk pada Pusat Biro Statistik Israel saat ini (sebelum insiden 7 Oktober 2023), populasi Yahudi Israel berada di kisaran angka 6.556.000 jiwa. Secara keseluruhan, populasi Israel berjumlah kurang lebih 9.000.000 jiwa.

Sementara populasi warga Palestina saat ini kurang lebih berjumlah 6.000.000 jiwa dengan rincian 3.000.000 orang bermukim di Yerusalem Timur, 2.000.000 lainnya bermukim di Gaza, dan sekitar 1.000.000 orang menjadi warga Israel. Angka tersebut belum termasuk rakyat Palestina lainnya yang berjumlah sekitar 6.000.000 jiwa yang mengungsi ke negara-negara Arab atau negara lainnya.

Jumlah populasi Palestina kini berkurang lagi usai apa yang ramai disebut genosida dilakukan Israel kepada rakyat Palestina. Data dari Al Jazeera per 1 Juni 2024, sejumlah 36.284 warga Palestina tewas terbunuh militer Israel, di mana sekitar 15.000 di antaranya merupakan korban anak-anak, dan sebanyak 82.057 lainnya terluka.

Sementara korban dari pihak Israel per 30 Mei 2024 setidaknya menyentuh angka 1.139 korban jiwa, dan setidaknya 8.730 lainnya mengalami luka-luka.

90