Home Hukum Kejagung Tolak Permohonan Restorative Justice 2 Perkara Narkotika

Kejagung Tolak Permohonan Restorative Justice 2 Perkara Narkotika

Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menolak dua pengajuan permohonan penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, pada Rabu (5/6), menyampaikan, kedua permohonan tersebut ditolak oleh Plt Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

Ketut mengatakan, kedua berkas perkara narkotika yang ditolak dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dan tidak direhabilitasi tersebut, pertama; tersangka SMN dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pesawaran.

SMN diduga melanggar sangkaan pertama, yakni Pasal 112 Ayat (1) juncto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau Kedua, Pasal 127 Ayat (1) Huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Kemudian, perkara tersangka AAM dari Kejari Lombok Tengah yang disangka melanggar sangkaan pertama, yakni Pasal 114 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau kedua; Pasal 112 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau Ketiga; Pasal 127 Ayat (1) huruf A Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

“Alasan tidak diterimanya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada perkara ini karena kedua tersangka tidak memenuhi beberapa kriteria yang menjadi persyaratan,” ujarnya.

Lebih lanjut Ketut menjelaskan, kriteria untuk mendapatkan penghentian penuntutan, yakni berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, tersangka positif menggunakan narkotika.

Kemudian, berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user).

Selanjutnya, tersangka ditangkap atau tertangkap tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah pemakaian 1 hari. Berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalah guna narkotika.

Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali, yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang.

“Ada surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya,” ujarnya.

Ketut menjelaskan, tersangka tindak pidana narkotika dapat dihentikan penuntutannya melalui keadilan restoratif apabila memenuhi persyaratan berdasarkan Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021.

Pedoman Jaksa Agung tersebut yakni tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

30