Jakarta, Gatra.com - Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus memandang perlunya dilakukan evaluasi atas penurunan realisasi CHT dan produksinya, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi.
Heri menilai, kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi. Meski sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan besaran tarifnya juga harus tetap diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
"Karena cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (6/6).
Kenaikan harga rokok yang lebih tinggi dari inflasi akan mengubah perilaku perokok untuk menyesuaikan konsumsi rokoknya dengan pendapatannya.
Artinya, sambuh Heri, kesempatan perokok untuk berpindah konsumsi ke rokok yang lebih mudah dijangkau atau rokok murah akan semakin tinggi, bahkan ke rokok ilegal. Hal ini tentu merugikan kesehatan masyarakat dan adanya potensi penerimaan cukai yang hilang.
"Artinya harus ada benteng lain selain cukai yang harus dikuatkan karena selama ini unsur pengendalian yang berjalan baru cukai. Tapi tetap harus memperhatikan perlindungan industri dan penyerapan tenaga kerjanya, jadi harus hati-hati betul," ucapnya.
Terkait peralihan konsumsi ke rokok murah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, menjelaskan banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya tarif cukai dan harga produk-produk tembakau di Indonesia.
“Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah,” katanya.
Menyoroti cepatnya pertumbuhan rokok yang lebih murah di golongan 2 dan 3, Agus menyarankan kerumitan ini perlu diselesaikan dengan membenahi struktur tarif cukai di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.
Hal ini dikarenakan penerapan struktur tarif cukai yang berlapis dapat mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah.
“Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam paparan APBN Kita edisi Mei 2024, Menteri Keuangan menyebutkan penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya yang dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang merupakan kontributor mayoritas penerimaan cukai.
Kebijakan kenaikan CHT sebesar 10% di tahun 2024 dinilai tidak efektif dengan adanya perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal, yang terlihat dari penurunan golongan 1 sebesar 3% year-on-year, tapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 % year-on-year.