Home Hukum Pemberian Probono Bisa di Kasus-Kasus Viral

Pemberian Probono Bisa di Kasus-Kasus Viral

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Balikpapan, Ardiansyah, S.H., M.H., mengatakan, boleh saja advokat memberikan probono atau bantuan hukum cuma-cuma alias gratis dalam kasus-kasus viral untuk mendongkrak popularitasnya.

“[Itu] boleh dilakukan,” kata Ardiansyah saat menjadi pemateri Layanan Hukum Probono dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan IV DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta pada Jumat malam (7/6)

Ia menjelaskan, seorang advokat harus mempunyai strategi untuk menaikkan popularitas. Terlebih, advokat tidak boleh mengiklankan diri sehingga memerlukan strategi yang tepat namun tidak melanggar hukum dan Kode Etik Advokat.

Ardiansyah setuju dengan teori politikus Bambang Pacul bahwa perlu momentum atau pemantik yan menjadikan orang itu naik ke permukaan. “Salah satu momen adalah kita terlibat [menangani] dalam kasus-kasus yang viral,” ujarnya.

Meskipun advokat ini baru, lanjut Ardiansyah, bisa mengikuti rekan-rekan advokat yang lebih senior dan terkenal agar ikut terdongkrak namanya karena ikut sebagai kuasa hukum dalam suatu kasus yang viral dan menyita perhatian publik.

“Yang menentukan itu strategi, percaya diri kita. Kenapa orang lain bisa kita tidak bisa. Kemudian harus ada momen walaupun percaya diri Bapak/Ibu luar biasa, walaupun ilmu dan strategi Bapak/Ibu luar biasa, tapi tidak ada momen tidak bisa naik ke permukaan,” ujarnya.

Namun demikian, ia mengingatkan untuk melakukan itu jangan sampai melanggar perundang-undangan, khususnya UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 serta Kode Etik Advokat Indonesia. Kemudian, pihak yang mendapat probono adalah masyarakat tidak mampu atau memenuhi syarat untuk mendapat probono.

“Kalau sudah populer jangan pula tangan seperti ini, cincin-cincin itu karena itu memancing rekan-rekan kita untuk menghalalkan segala cara,” ucapnya menirukan gaya seorang advokat yang kerap memamerkan berlian dan berbagai barang mewah lainnya.

Sedangkan soal Peradi tidak bisa mengontrol semua advokat, Ardiansyah berpendapat karena saat ini seolah-olah sistemnya menganut multibar atau lebih dari satu wadah organisasi advokat atau tidak single bar.

“Akar masalahnya di multibar. Jadi kita sebagai pengurus Peradi tidak bisa lagi mengontrol advokat secara keseluruhan karena banyak sekali organisasi yang dapat melantik atau mengangkat advokat tanpa bisa dikontrol oleh siapapun,” ujarnya.

Karena implementasinya multibar walaupun UU Advokat menyatakan single bar, tidak ada standardidasi yang perlu dipenuhi untuk menjadi advokat. Itu tidak seperti di Peradi yang menentukan syarat kualifikasi yang harus dipenuhi jika ingin menjadi advokat.

“[Akibat banyak organisasi yang bisa mengangkat advokat] standar untuk menjadi advokat saat ini sudah sangat tidak jelas,” ucanya.

Ia lantas mencontohkan hal tersebut di beberpa organiasi advokat di luar Peradi, khususnya di berbagai daerah. “Di organisasi tetangga yang mendaftar 10 tetapi yang lulus 12. Yang ikut ujian 12 yang lulus 15. Itu di daerah seperti itu, tidak jelas kapan sarjananya ini orang bisa jadi advokat. Ini hanya bagaimana memburu anggota sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kualitas,” tandasnya.

Bantuan Hukum Konvensional dan Struktural

Dalam pemaparan materinya, Ardiansyah di antarnya menjelaskan tentang Bantuan Hukum Konvensional dan Struktural. Bantuan hukum konvensional yakni advokat memberikan bantuan hukum hanya sebatas pada pokok perkara. Misalnya soal pencurian, advokat hanya membela soal kasus pencuriannya.

Adapun bantuan hukum nonkonvensional atau disebut dengan bantuan hukum struktural (BHS), yakni bantuan hukum yang melampaui bantuan hukum konvensional yang hanya berbasis pada kemurahan hati semata. BHS bertujuan untuk mengubah struktural, kultur, dan substansi hukum serta politik yang timpang dengan memberdayakan masyarakat sebagai aktor kuci perubahan.

Pola bantuan hukum struktural ini, lanjut dia, kegiatan bantuan hukum dengan usaha untuk mengubah tatanan sosial sehingga tidak hanya bicara soal case by case atau kasus ini, misalnya pencurian, tetapi lebih jauh dari itu, yakni soal sisi penyebab terjadinya seseorang melakukan pencurian.

“Kita sudah bicara tentang tatanan sosial yang tidak adil. Jadi berangkat dari kemiskinan. Kemiskinan itu bukan karena orang-orang malas atau karena keturunannya tidak berkecukupan, tetapi kemiskinan itu diakibatkan oleh negara atau para penguasa yang tidak becus mengurus negara sehingga muncul kemiskinan di daerah-daerah,” tandasnya.

BHS memotret lebih jauh soal penyebab seseorang itu misalnya melakukan pencurian di satu perusahaan. Contohnya, seseorang itu terpaksa melakukan itu karena perusahaannya tidak memenuhi kewajibannya, umpanya tidak membayar gaji atau berbagai hak karyawan lainnya.

“Itu dilihat secara holistik. Cara memandang BHS ini tidak berdiri sendiri, tapi juga melihat akarnya. Akarnya akan kita susuri,” katanya.

Ia menjelaskan, fakta-fakta dalam BHS yang dihimpun advokat yang memberikan bantuan hukum tersebut tidak hanya yang berkaitan langsung dengan kasus-kasus yang dialami, tetapi melihat perkembangan-perkembangan spesial dan pengadilan bukan hanya sebagai tempat mencari keadilan.

“[Bukan hanya] bagaimana orang kalau pidana itu bisa dibebaskan atau dilepaskan atau kalau perdata bisa dimenangkan. Kalau BHS, pengadilan itu bukan hanya sebagai arena untuk menyelesaikan masalah tetapi kita tidak bicara tentang hasil, itu namanya litigasi strategis, pengadilan untuk membuka pesoalan yang terjadi sebenarnya seperti apa,” ucapnya.

481