Jakarta, Gatra.com – Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang digagas Institut Leimena menunjukkan perkembangan yang luar biasa beberapa tahun terakhir. Program tersebut bertujuan menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia dengan mengenalkan literasi keagamaan lintas budaya bagi guru dan penyuluh agama.
Program LKLB melibatkan guru dan kalangan pendidik dengan menciptakan ruang pembelajaran yang inklusif. Terhitung sejak 2021-2024, sebanyak 8.055 pendidik dari 37 provinsi di Indonesia telah lulus sebagai alumni pelatihan LKLB yang diadakan oleh Institut Leimena dan 32 mitra lembaga pendidikan dan keagamaan selama kurun waktu sekitar 2,5 tahun.
Pelatihan LKLB membekali para pendidik di Indonesia, yang terdiri dari guru sekolah/madrasah dan penyuluh agama, agar memiliki kompetensi yang memadai dalam membangun toleransi dan kolaborasi damai lintas agama. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyampaikan dalam situasi dunia yang semakin terpecah belah dan terpolarisasi dibutuhkan adanya pendekatan pendidikan yang menekankan kepada penguatan kerja sama dan solidaritas. Karena itu, program LKLB menjadi sangat signifikan terutama bagi para guru sebagai pemeran utama dalam dunia pendidikan.
“Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah upaya kita bersama untuk membangun rasa saling percaya antar penganut agama berbeda. Ini adalah modal sosial untuk kemajuan bangsa Indonesia,” kata Matius Ho dalam acara temu media yang diadakan di Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.
Matius Ho menyebut, literasi keagamaan lintas budaya memperkuat kohesi sosial antar penganut agama yang berbeda melalui para pendidik. Keberadaan LKLB menjadi salah satu solusi menjembatani antara budaya dan agama. Lebih lanjut, literasi keagamaan lintas budaya sempat dibicarakan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sidang Dewan HAM PBB.
Program LKLB yang dimulai sejak bulan Oktober 2021 berkembang sangat positif diikuti sebanyak 9.969 peserta. Dikenal sebagai contoh pendekatan pendidikan dari Indonesia untuk membangun kohesi sosial. Institut Leimena menggandeng berbagai mitra dalam pelaksanaan program LKLB antara lain 20 lembaga Islam, 7 institusi Kristen, dan kemitraan baru dengan umat Buddha, lembaga Hindu, dan Konghucu.
Mantan Menteri Luar Negeri dan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Alwi Shihab mengatakan, program LKLB melatih para guru untuk mengembangkan interaksi harmonis, saling menghormati, dan kolaborasi positif lintas agama.
“Guru berada di garda terdepan untuk melindungi komunitasnya dari pengaruh intoleransi beragama dan ekstremisme. Sayangnya, kita mengamati bahwa meningkatnya radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan dikaitkan dengan model penafsiran, pemahaman, dan pengajaran, serta aliran pemikiran tertentu,” kata Alwi Shihab.
Senior Fellow Institut Leimena itu menyampaikan, eksklusivitas dalam beragama seringkali muncul karena ketidakpahaman atau kesalahpahaman terhadap ajaran agama lain. “Muncul sikap tidak senang dengan agama lain karena pengetahuan itu disampaikan oleh tokoh-tokoh atau guru yang sama sekali tidak mengerti atau memahami agama lain. Kita teruskan pemahaman inklusif itu kepada para guru dan kalangan pendidik,” tutur Alwi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, pembelajaran di sekolah saat ini seringkali melepaskan diri dari realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Karena itu, guru perlu “melek” atau memiliki literasi keagamaan yang baik sehingga mampu memasukkan pesan-pesan keberagaman dalam pembelajarannya di kelas.
Ruhaini, yang juga mantan Ketua Umum Komisi Independen Permanen HAM di OKI itu juga menegaskan pendekatan LKLB sejalan dengan penguatan supremasi hukum dan kebebasan beragama di Indonesia. Dalam Islam misalnya, ia mencontohkan dikenalkannya istilah Islam Wasathiyah sebagai dasar dan landasan moderasi beragama.
“Pemahaman masyarakat akan pentingnya relasi antara supremasi hukum dengan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi konstitusi adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah meningkatnya tantangan polarisasi di dunia,” kata Ruhaini yang juga Senior Fellow Institut Leimena.
Wakil Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Mulawarman Hannase mengatakan, LKLB sangat bermanfaat untuk memunculkan kesadaran bagi komunitas muslim khususnya guru dan kader-kader ulama. “Dialog lintas agama pada prinsipnya tidak merusak iman. Semakin inklusif pemahaman seseorang semakin sadar ia akan toleransi dan memiliki pemahaman baru terhadap hubungan lintas iman,” kata Mulawarman.
Menurutnya, kerja sama Masjid Istiqlal dan Institut Leimena dalam program LKLB sudah berlangsung sejak awal program tahun 2021, yaitu sebanyak 11 kelas dengan jumlah peserta mencapai sedikitnya 1.200 peserta termasuk dua kelas diikuti para mahasiswa program S2 dan S3 dari Pendidikan Kader Ulama (PKU) Masjid Istiqlal.