Home Nasional Pancasila Bukan Mantra, Tak Bisa Dibumikan Lewat Indoktrinasi

Pancasila Bukan Mantra, Tak Bisa Dibumikan Lewat Indoktrinasi

Jakarta, Gatra.com – Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni menjadi pengingat untuk terus menjaga persatuan bangsa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, upaya penguatan nilai-nilai Pancasila tidak bisa lagi dilakukan dengan cara indoktrinasi seperti di masa lampau. Namun perlu dilakukan lewat kegiatan-kegiatan partisipatif oleh guru yang memiliki pemahaman akan pentingnya Pancasila sebagai fondasi bangsa yang majemuk.

Hal itu disampaikan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Senior Fellow Institut Leimena, Pdt. Andreas Anangguru Yewangoe dalam webinar internasional dalam rangka Hari Lahir Pancasila bertemakan “Pancasila dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam Memperkukuh Masyarakat yang Inklusif dan Kohesif” yang diadakan Institut Leimena dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, pada Kamis, 30 Mei 2024.

“Pancasila bukan mantra, bukan simsalabim jika kita hafal lalu menjadi bangsa yang adil dan makmur, tidak begitu. Kita sering menjadikan Pancasila sebagai ritus untuk dihafalkan setiap hari Senin, tapi tidak seperti itu, yang harus dilakukan membumikan nilai-nilai Pancasila artinya sungguh-sungguh berpijak pada realitas,” kata Yewangoe.

Karena itu, BPIP telah menyusun 17 buku pendidikan Pancasila untuk tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi di mana 70 persen menekankan pada kegiatan dan inisiatif mandiri pengamalan nilai-nilai Pancasila, dan hanya 30 persen berisi sejarah atau informasi mengenai Pancasila.

Yewangoe mengakui pengamalan nilai-nilai Pancasila terus menjadi tantangan bangsa Indonesia. Misalnya, masih terjadinya kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan beribadah. Pancasila juga mengalami tantangan dengan kemunculan ideologi transnasional yang mendorong intoleransi dan radikalisme. “Kita masih mengalami persekusi terhadap orang yang sedang beribadah. Itu sangat sulit diterima di dalam negara Pancasila,” ucapnya.

Menurutnya, fakta kemajemukan bangsa Indonesia harus disadari sebagai hal yang sangat rawan terhadap perpecahan. Ia mengingatkan percakapan Presiden RI, Soekarno, dan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, yang saling bertanya tentang apa yang terjadi terhadap negara masing-masing jika keduanya wafat. Broz Tito menjawab dirinya mempersiapkan angkatan perang untuk menjaga keutuhan Yugoslavia, namun Bung Karno mengatakan dirinya mewariskan Pancasila.

“Terbukti dalam sejarah, Yugoslavia terpecah belah, sedangkan Indonesia tetap ada sampai sekarang. Artinya, kesatuan suatu bangsa tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan senjata atau ketokohan seseorang, tapi pada warisan yang bersifat ideologis yang kita kenal sebagai Pancasila,” ujar Yewangoe.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menegaskan bangsa Indonesia perlu merenungkan sejenak pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang diperingati kelahirannya pada 1 Juni. Menurutnya, upaya untuk memajukan Indonesia jangan sampai meninggalkan fondasi Pancasila sebagai nilai-nilai utama dalam masyarakat Indonesia.

“Terkadang saking semangatnya kita mengejar kemajuan, takut tertinggal negara-negara lain, kita lupa bahwa kemajuan hanya bisa terarah, membawa manfaat bagi bangsa dan manusia, serta langgeng, apabila kita selalu ingat dan berpijak pada nilai-nilai fondasi kita, dan Pancasila sebagai nilai-nilai utama fondasi ini,” ujar Matius Ho.

Matius menegaskan Pancasila merupakan karya jenius bangsa Indonesia, karena merupakan hasil perenungan jati diri bangsa Indonesia, serta meletakkannya dalam nilai-nilai universal dunia. Ir. Soekarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”, mengatakan bahwa kalau 5 sila tersebut diperas menjadi 1 kata, maka diperoleh satu kata Indonesia yang tulen yaitu “gotong-royong”.

Menurut Matius, sila-sila dalam Pancasila sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai universal, misalnya seperti kemanusiaan, kebangsaan yang menjiwai sila persatuan, dan demokrasi yang menjiwai sila kerakyatan. Interaksi nilai-nilai lokal dan global ini, yang dilandasi nilai-nilai moral dan spiritual, merupakan proses penting dalam menjaga persatuan dan jati diri bangsa, seraya terus berinovasi untuk kemajuan dan kebaikan bersama.

“Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang dijalankan Institut Leimena dan UIN Sunan Ampel, Surabaya, menjadi cerminan dari dua dimensi Pancasila yaitu bergotong royong dan berkebinekaan global. Program LKLB selama 2,5 tahun telah menjangkau 10.000 guru dari 37 provinsi dan bekerja sama dengan hampir 30 lembaga keagamaan dan pendidikan di Indonesia,” kata Matius Ho.

Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple mengatakan, Pancasila adalah sebuah visi yang indah, sedangkan LKLB adalah jembatan yang mampu mengkontekstualisasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. LKLB menyediakan kerangka bagaimana menjumpai orang lain yang berbeda lewat tiga kompetensi, yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi, serta tiga keterampilan yaitu komunikasi, evaluasi, dan negosiasi.

Presiden International Religious Freedom Secretariat, Nadine Maenza, mengatakan, jika kita meyakini bahwa orang dari agama lain adalah ancaman, maka perdamaian dan stabilitas akan runtuh. Karena itu, pendidikan LKLB mampu menghasilkan pemahaman, penerimaan, dan pada akhirnya rasa saling percaya.

Ketua Tim Kerja Transformasi Pembelajaran Direktorat Guru Pendidikan Dasar, Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nita Isaeni, mengatakan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) telah dirasakan manfaatnya oleh para guru, antara lain terciptanya lingkungan belajar yang aman, guru lebih antusias, siswa lebih terbuka, dan terjadi pengembangan karakter, serta proses penyelesaian masalah siswa dan guru melalui kekerasan fisik/verbal telah berkurang digantikan dialog.

20