Home Kolom Petualangan Lintas Tiga Zaman di Lembah Maek Negeri Seribu Menhir

Petualangan Lintas Tiga Zaman di Lembah Maek Negeri Seribu Menhir

Petualangan Lintas Tiga Zaman di Lembah Maek Negeri Seribu Menhir

Oleh:

Asyhadi Mufsi Sadzali*

 

Di Januari yang penuh penghujan, selepas sarapan Gudek dekat gedung pusat UGM, kaki langsung bergegas melompati genangan air yang mulai mengering menuju Laboratorium Bio-Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, UGM, tempat disimpannya temuan kerangka manusia dari Situs Bawah Parit, Nagari Maek, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat.

Di sebuah lembah kaki Bukit Barisan, tak jauh dari sebuah aliran parit anak Sungai Batang Maek, ditemukan Kerangka tujuh individu hasil ekskavasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1985 dan 1986. Kerangka ini sejak lama ditempatkan di ruang penyimpanan temuan Laboratorium Bio-Paleoantropologi yang dipenuhi rak-rak berwarna datar. Kerangka yang tersimpan rapi itu, terlihat mulai rapuh, seoalah mulai pupus harapan untuk bisa pulang ke Maek ”kampuang nan jauh di mato”.

Penemuan kerangka ini cukup menggemparkan dunia arkeologi, sekaligus penanda awal dimulainya petualangan para intelektual di Kawasan Megalitik Maek melintasi ruang dan waktu.

Ilustrasi Aktivitas Arkeologi (Istimewa)

Sebagai arkeolog yang melakukan penelitian di Lembah Maek tahun 2016 hingga 2019, keberadaan kerangka tujuh individu yang kini terpisah sejauh 1.762 Km dari kampung halamannya, menjadi suluh penerang menyibak kabut misteri Peradaban Megalitik Maek. ”ini mas temuannya”, ucap si petugas seolah memecah lamunan lalu tatkala melintasi padang ilalang dari Situs Pangantiangan ke Situs Ampang Gadang empat tahun silam, ”temuan kerangka ini masih minim kajian, dan jarang sekali dibuka” tambahnya sambil membuka rak penyimpan secara perlahan.

Situs Bawah Parit menjadi 1 dari 32 situs lain yang telah dipetakan dalam kegiatan kuliah lapangan Program Studi Arkeologi Universitas Jambi di tahun 2016 hingga 2019, sekaligus menjadi satu-satunya situs yang pernah di ekskavasi di wilayah Maek. Di situs ini terdapat 370 menhir berbahan batu andesit berukuran antara 40 hingga 60 Cm. Sebanyak 134 menhir dibentuk menyerupai ”Kaluak Paku”, atau tunas pakis dengan motif hias ”pucuk rebung” atau pola segitiga sejajar yang dapat dimaknai sebagai simbol siklus kehidupan. Selain itu juga terdapat motif ”sulur-suluran”, dan motif ”pilin ganda”.

Menhir lain yang rata-rata berbahan dan ukuran yang hampir sama, namun seikit berbeda dalam bentuk seperti variasi pada bagian atas dengan bentuk lebih datar, dan ada juga ke atas semakin mengecil, serta menhir yang bentuk bagian atas menyerupai kepala binatang. Bagaimana memqhami fenomena ini, Tentu dibutuhkan petualangan intelektual ke berabagai keilmuan untuk membaca apa yang tersirat.

Situs Peninggalan Arkeologi (Istimewa)

Pada situs lain seperti di Pangantiangan dijumpai menhir berbentuk ”kaluak paku” berdampingan dengan temuan seperti umpak batu bermotif hewan, lesung batu, batu dakon, maupun meja batu. Namun di Situs Bawah Parit seluruhnya adalah menhir nerbentuk menyerupai ”kaluak paku”, yang bermakna tanggung jawab laki-laki terhadap anak kemanakannya, atau tanggung jawab pada generasi selanjutnya.

Hasil ekskavasi di Situs Bawah Parit membawa pada satu pendapat bahwa lokasi tersebut di masa lampau berfungsi sebagai situs penguburan. Catatan Haris Sukendar dalam laporan tahun 1985, juga memperkuat dugaan serupa, ditambah dengan melihat keberadaan temuan kerangka tujuh individu yang terkubur dengan posisi membujur disebuah liang pada kedalaman antara 125 cm hingga 195 cm, ber-orientasi kepala ke arah Barat Laut, serta bagian kaki menghadap Tenggara.

Pola penempatan Menhir penanda kepala yang menghadap arah Barat Laut, dan menhir penanda bagian kaki menghadap ke Tenggara dilandasi atas konsep pemahaman tata ruang yang suci dan yang tidak suci, dalam bentang geografis Nagari Maek yang dikelilingi perbukitan, dan terdapat puncak tertinggi Gunung Sago di sisi Tenggara.

Alasan orientasi menhir bagian kaki menghadap ke Gunung Sago dapat dimaknai sebagai penanda arah melangkah perjalanan roh setelah kematian naik ke puncuk tertinggi Gunung Sago menuju dunia arwah. Tradisi seperti ini berkembang dibanyak peradaban megalitik, terutama Sumatera yang ber-orientasi pada puncak gunung, seperti di Jambi menghadap ke gunung Kerinci, di Pasemah Sumatera Selatan Menghadap ke Gunung Dempo dan studi kasus lain. Pengetahuan tata ruang masyarakat masa lampau di Lembah Maek menjadi penanda pencapaian pengetahuan luar biasa yang melibatkan geografis, astronomis, dan kosmologis.

Objek Penelitian Arkeologi (Istimewa)

Hasil ekskavasi Situs Bawah Parit empat puluh tahun silam, mestinya menjadi tonggak awal pertanyaan lanjutan, apakah ada situs penguburan lain di Lembah Maek? Jawaban yang tidak bisa hanya dengan dugaan, membandingkan cii menhir, kemiripan bentang lahan perbukitan yang datar, serta pola penempatan menhir yang sejajar berdampingan. Setidaknya ada 32 situs di kawasan seluas 22 hektar dengan bantuan teklogi survei bawah tanah seperti geolistrik, maupun ground penetreting radar atau teknik GPR, sangat mungkin dilakukan tanpa harus mengekskavasi semua situs yang akan memakan waktu dan biaya tinggi.

Selain itu, penting juga untuk menindaklanjuti hasil analis anatomi, dan temuan gigi kerangka 7 individu berciri ras mongoloid, di mana 2 individu berjenis kelamin laki-laki, dan dua individu adalah wanita. Belakangan diketahui dari hasil skripsi mahasiswa arkeologi Universitas Jambi, Dini Azhari tahun 2022, terkait rekam jejak penyakit gigi seperti: karies, kalkulus, dan atrisi gigi, serta adanya perlakuan khusus atau modifikasi berupa kerik atau pongkur gigi pada dua individu wanita.

Layaknya sebuah peradaban, objek megalit di Maek tidak hanya berupa menhir, juga ditemukan lesung batu bermotif, meja batu, punden berundak, umpak batu, yang menunjukkan kompleksitas sosial masa lampau. Fenomena unik lain ada di Situs Ampang Gadang. Pada batu berukuran raksasa dengan tinggi mencapai 10 meter dengan lebar 15 meter terlihat menempel satu bakal menhir yang belum selesai dibuat. Situs di tepi Sungai Batang Maek ini menjadi bukti megalit Maek produksi buatan lokal yang dikerjakan pengerajin lokal juga.

Petualangan intelektual Lembah Maek dalam segala perdebatannya membuka mata selama ini terjebak pada deskripsi bentuk fisik ”menhir”nya saja, sehingga menimbulkan kedangkalan informasi, dan sulit membangun narasi rekonstruksi kompleksitas sosialnya. Kecendrungan kedua masih terjebak pada ”usia” umur situs. Pandangan semakin tua makin makin penting dan keren, ini perlu diluruskan. Sejatinya esensi dan inti kekayaan nilai penting sejarah, sosial, budaya dan ekonomi pada megalitik Maek bukan pada statusnya sebagai situs ”tertua”.

Apa yang bisa diceritakan dari usia, sebaliknya kekayaan nilai itu pada nilai-nilai luhur, pengetahuan harmoni dengan alam, teknologi modern tanpa merusak, dan tatanan sosial yang madani adalah pesan utama yang dapat menjadi hikmah dan cerminan masa depan yang lebih baik.

Sejauh ini telah banyak pendapat yang menebak-nebak usia Kawasan Megalitik Mahat, mulai dari yang paling tua menembus angka hingga 6000 SM, hingga paling muda di masa islam abad ke-15 M. Terkait data pasti umur peradaban Maek perlu dilakukan beragam pendekatan ilmiah dan uji laboratorium, seperti analisis carbon dating C14, yang belum pernah ditempuh di Megalitik Maek.

Usia peradaban Maek bila diibaratkan seperti jala yang sambung menyambung. Terus berlanjut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bisa kita lihat bentuk menhir ”kaluak paku” yang digunakan pada makam-makam kuno di Situs Ustano Alam Pagaruyung, maupaun makam-makam masa peralihan di Situs Talago Gunung, bahkan hingga kini bentuk menhir ini masih digunakan sebagai ”mejan” nisan oleh kalangan masyarakat tertentu di Tanah Datar Sumatera Barat.

Demikian juga terkait praktik tradisi antara masyarakat dengan menhir hinga tahun 1980 an masih diadakan penyempelihan kerbau dan makan bersama di punden berundak Situs Koto Gadang dengan tujuan acara sosial kebersamaan, dan bila belanja di beberapa butik Kota Padang, jangan heran bila menemukan kain batik dengan motif hias Megalitik Maek. Justru sangat digemari anak muda masa kini. Namun sejauh mana mereka mengenal nilai-nilai penting peradaban Maek?

Memandang kehidupan sosial masyarakat Maek masa megalitik, harus dibaca secara utuh dengan melihat semua warisan budaya yang ada mulai dari menhir, umpak batu, lesung batu, batu dakon, meja batu, tamuan tembikar, fragmen logam, manik-manik, dan lainnya yang tersebar di 32 situs.

Lembah maek menjadi saksi masa yang panjang melintasi tiga zaman. Berdampingan dengan peradaban klasik buddha di Tanah Datar, tatkala Maharaja Adityawarman mengeluarkan puluhan prasasti dan arca batu, pun juga berdampingan pada masa Kesultanan Islam dan kolonial Belanda tatkala dibangun pesaggarahan dan gudang penyimpanan gambir yang kini hampir rubuh tak jauh dari tepian Batang Maek.

Peradaban megalitik Maek, tidak hanya penting bagi Sumatera Barat, juga sangat penting untuk seluruh bangsa. Maka kesulitan menemukan pengetahuan terkait peradaban Megalitik Maek dalam buku, dan karya sejarah populer, terlebih lagi dalam kurikulum muatan lokal ditingkat SD, hingga Perguruan Tinggi harus segera diatasi. Bagaimana membangun generasi emas Indonesia yang cerdas emosional, mental, dan intelektual, namun buta akan sejarahnya, dan galau akan identitas.

Ini hanya catatan kecil dari satu kisah petualangan intelektual. Ditulis melintasi tiga zaman, mengingat kembali akan jutaan harapan yang masih terpendam di antara padang ilalang.

 

*Penulis: Asyhadi Mufsi Sadzali, M.A, Dosen Arkeologi di Universitas Jambi, fokus kajian penelitian arkeologi di wilayah Sumatera. Email: amsadzali@gmail.com.

3148