”Keajaiban Smartphone dan Masa Depan Pelestarian Peradaban Megalitik Maek”
Oleh: Asyhadi Mufsi Sadzali*
Teknologi ibarat sihir yang awalnya dianggap tak mungkin jadi mungkin. Keajiban teknologi selalu selangkah lebih maju dibandingkan batas imajinasi, namun bagi orang yang mampu melihat peluang masa depan, pandangan maju itu akan membawa kemajuan.
------------------------------------
Mungkin manusia dan smartphone telah mendekati hubungannya yang intim. Bahkan melebihi hubungan akrab antar sesama manusia pada umumnya. Coba lihat komunikasi yang intens. Terlebih lagi ada banyak perhatian yang dicurahkan. Bahkan keseharian yang dilalui bersama. Apakah smartphone telah menempati posisi sahabat terdekat manusia?
Seperti sebuah ramalan, para pakar teknologi di awal kemunculan smartphone telah memprediksi fenomena manusia candu dan ketergantungan dengan smartphone. Sadar atau tidak, setelah beberapa tahun berlalu ramalan itu kini terbukti. Secara saintifik pada 2023 silam perusahaan platform digital raksasa ”Google” mengeluarkan hasil survei terkait penggunaan ponsel dengan tajuk ”Think Tech, Rise of Foldables: The Nest Big Thing in Smartphone”. Mengutip langsung dari blog resmi Google Indonesia, data memperlihatkan satu fakta menarik, bahwa satu dari dua orang Indonesia, terbiasa menggunakan Google, dan YouTube dalam mencari dan memperoleh informasi dalam kesehariannya, dan Indonesia menjadi negara peringkat pertama Asia Tenggara pengguna smartphone, dan peringkat ke-empat dunia target pasar ponsel terbesar setelah China, India, dan Amerika Serikat. Artinya dari 278.69 juta jiwa penduduk Indonesia per tahun 2023, umumnya menggunakan lebih dari satu smartphone. Di tahun 2024 ini mungkin Anda telah menjadi salah satu di antaranya.
Para ahli teknologi informatika berpendapat bahwa pengguna aktif dan konsumsi penduduk Indonesia dan dunia terhadap smarthphone akan terus meningkat tajam di tahun 2025 mendatang. Fenomena ketergantungan smarthphone yang telah berlangsung 10 tahun belakangan ini, terbukti mempengaruhi tatanan sosial budaya masyarakat baik secara kolektif maupun individu.
Fenomena ketergantungan akan teknologi yang belum pernah terjadi sepanjang perjalanan peradaban umat manusia. Bahkan penemuan api pada masa prasejarah sebagai titik lompatan pertama menuju peradaban moderen manusia hanya digunakan pada aktivitas pemenuhan kebutuhan tertentu. Sangat kontras dengan candu digital yang menempati titik lompatan peradaban ke-lima, setelah penemuan teknologi pengolahan logam, penciptaan listrik, dan kecerdasan komputer. Pada tahapan ini, dunia metavers bisa jadi pengantar menuju lompatan peradaban ke-enam, dunia metaverse di mana yang nyata dan ilusi optik terasa sama.
Beberapa tahun belakangan ini prototipe metaverse telah dikembangkan semakin sempurna. Salah satu pionir yang secara serius mengembangkan metaverse adalah ”meta” yang dikembangkan di bawah platform ”Facebook”. Apa sebenarnya metaverse yang bahkan menarik perhatian perusahaan digital keliber dunia seperti Facebook?. Pemahaman konseptual metaverse merujuk Neal Stephenson dalam karya sains fiksi berjudul ”Snow Crash” yang dipublikasikan pada 1992, mengisahkan sebuah dunia realitas virtual global yang dapat diakses siapapun dan dari manapun melalui perangkat VR atau Virtual Reality juga AR atau Augmented Reality sebuah teknologi yang memberikan pengalaman seoalah nyata yang melibatkan beragam panca indra penggunanya. Sederhananya dunia ”metavers” dunia digital yang terasa nyata yang dapat dikembangkan terus menerus dan tidak terbatas pada ruang dan waktu, seoalah penggunanya dapat menciptakan beragam hal dna melakukan berbagai hal, mulai dari aktivitas ekonomi, wisata, petualangan bahkan uji coba eksperimental.
Pada beberapa tahun terakhir ”metavers” semakin dikemabangkan tidak hanya kebutuhan game maupun entertainmen lain, bahkan dalam dunia pendidikan. Beberapa negara maju tengah mengembangkan pendekatan metaverse untuk aktivitas pendidikan yang memerlukan pengalaman laboratorium maupun aktivitas praktek lapangan. Peserta didik seoalah melakukan uji coba pada ruang virtual seolah nyata dibantu dengan VR atau pun AR. Demikian juga pembelajaran yang membutuhkan studi lapangan seperti peserta didik di Aceh dapat mempelajari Candi Borobudur seoalah datang langsung berkunung dan melihat detail relif yang ada sambil berintegrasi visual, dan komuniaksi dengan peserta lain dari berbagai tempat. Sesuatu yang pada dekade lalu tidak pernah terbayangkan, sama halnya seperti terobosan perangkat video call pada smartphone yang pada dekade awal 2000-an belum terlintas dalam imajinasi semua pengguna handphone dengan kamera yang digunakan hanya untuk foto-foto saja.
Lompatan dunia metavers menurut Dr. Stylianos dari University of Patras dalam jurnal ilmiah berjudul ”Metavers” terbit tahun 2022 silam, mengungkap kemungkinan ”metavers” akan digunakan dalam dunia bisnis yang memungkinkan orang dari berbagai dunia berinteraksi jual beli properti dan beragam produk yang ada dalam dunia digital seolah-olah bertemu dan berinteraksi nyata tatap muka. Sederhananya bisa diibaratkan dengan seseorang yang mampu berpindah tempat dalam hitungan detik lalu berinteraksi dengan orang lain seolah itu nyata.
Dalam dunia pariwisata tentu ini sangat menarik. Bagi pecinta petualangan namun tidak menginginkan adanya resiko, seperti misalnya melakukan pendakian gunung Everest yang berbahaya dapat dilakukan di rumah dengan aman sambil santai, namun seolah itu nyata dan terasa oleh panca indra. Kelebihan lainnya, tidak perlu menghabiskan biaya tiket pesawat mahal menuju Nepal lalu ke Annapurna Base Camp dan menyewa penginapan yang cukup menguras biaya. Tentu alternatif ”metavers” cukup menggiurkan setidaknya mengalami seolah nyata walau sepenuhnya tidak nyata. Para pakar pengembang metavers yakin akan semakin menyempurnakan keajaiban dunia virtual meta yang mampu melibatkan seluruh panca indra, bahkan pendengaran dan penciuman yang seolah sama seperti rasa aslinya. Apakah anda dapat membayangkan bila masa itu telah tiba. Masih kah lokasi wisata terkenal dunia yang butuh biaya mahal tetap ramai pengunjung?
Perkembangan teknologi digital melampau realitas seperti metaverse akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Kawasan Megalitik Maek, yang secara jarak tempuh cukup jauh dari Kota Padang, juga dari Kota Batu Sangkar. Bahkan orang yang tinggal di benua lain dapat dengan mudah mengunjungi Maek, seoalah itu nyata dan menikmati setiap menhir dan objek peradaban lain secara detail seperti melihat langsung tanpa datang ke Maek.
Menariknya kondisi pengalaman virtual ini dapat ditambahkan dengan penambahan informasi audio visual seolah menghadirkan seoarang pemandu ahli arkeologi dan sejarah dalam bentuk avatar yang dapat dikemas sesuai selera pasar. Pengunjung tidak perlu hadir secara fisik ke Maek untuk dapat menikmati keindahan megalitik maek dengan segala pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Dampak kerusakan fisik akibat aktivitas wisata juga akan hilang. Masyarakat lokal tidak perlu cemas kehadiran orang asing dengan segala problematika yang dibawa. Namun di sisi lain, ini juga menjadi tantangan dalam pengembangan ekonomi budaya yang dihasilkan untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat lokal yang secara konvensional gaya lama dapat untung dari jualan es kelapa ke pengunjung atau menawarkan jasa home stay sekaligus bonus pemandu. Mungkinkah ekonomi budaya dapat berjalan dalam konsep metaverse Maek?
Bila merujuk pada penelitian Justin Cho, yang dipersentasikan pada tahun 2022 bertajuk ”What is Metavers? Challenges, Opportunities, Defenitions, and Future Research Directions” justru sebaliknya penerapan metavers pada pariwisata budaya megalitik Maek akan sangat menguntungkan dengan alasan memungkinkan banyak orang dari berbagai negara dapat hadir ke dunia metavers megalitik Maek, sekaligus dapat melakukan interaksi ekonomi seperti membeli cinderamata, bayar tiket masuk, menyewa lokasi di lokasi, dan berbagai aktivitas ekonomi budaya lainnya tanpa memberi dampak kerusakan fisik objek dan lingkungan akibat aktivitas wisata yang ramai seperti misalnya sampah dan vandalisme perusakan pada objek megalitik Maek.
Bila kembali pada pertanyaan dasar tujuan pelestarian dan pemajuan kebudayaan yakni untuk memperpanjang usia objek cagar budaya sekaligus memberikan kesejahteraan ekonomi, sosial budaya bagi Masyarakat sekitarnya, maka dengan penerapan metaverse tujuan itu dapat tercapai dengan baik.
Kabar baiknya untuk menikmati metaverse tidak lagi butuh dengan alat mahal seperti Virtual Reality atau Augmented Reality yang masih cukup mahal di pasaran, namun bisa dengan menggunakan smartphone biasa. Semua tergantung konsep metaverse yang akan dikembangkan pada metaverse peradaban megalitik Maek. Tentu saja menikmati Metaverse Megalitik Maek dengan teknologi VR atau AR akan beda rasa dan tingkat pengalaman nyatanya dengan menggunakan smartphone. Ada harga ada rasa. Namun hanya persoalan waktu saja di mana produksi VR atau VR akan semakin masif dan harganya akan turun di pasaran sehingga akan dengan mudah dapat dimiliki semua orang. Sama seperti teknologi drone di tahun 2015-an dibandingkan dengan saat ini harganya sudah jauh menurun dan bahkan jadi mainan yang dapat dinikmati banyak kalangan.
Membayangkan pengembangan Kawasan Megalitik Maek tidak cukup berpijak dari masa lampu dan berpikir standar hari ini, sebab persoalan pelestarian dan pemajuan kebudayaan harus berpikir jauh ke depan sekaligus paham akan perubahan selera pasar global. Para pemangku kebijakan yang berperan dalam pelestarian dan pemajuan Kawasan Megalitik Maek, harus berpikir ”out of the box” dan tiga langkah lebih maju ke depan.
Sadar akan situasi wisata global terkini dan kenyataan Maek hari ini. Patut mempertimbangkan pengembangan Metaverse Megalitik Maek yang mampu menembus daya tarik global. Menghadirkan banyak pengunjung dari berbagai wilayah untuk mengenal kekayaan pengetahuan megalitik Maek, sekaligus memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal tanpa menghadirkan sampah di lokasi dan adanya kemungkinan perusakan fisik.
Teknologi ibarat sihir yang awalnya dianggap tak mungkin jadi mungkin. Keajiban teknologi selalu selangkah lebih maju dibandingkan batas imajinasi, namun bagi orang yang mampu melihat peluang masa depan, pandangan maju itu akan membawa kemajuan.
Teknologi metaverse yang semakin banyak diterapkan bukanlah konsep imajinasi angan-angan. Melainkan suatu kenyataan yang telah hadir di depan pintu peradaban bangsa ini, yang mengetuk dan bertanya ”akankah kita membuka diri dan mengizinkannya masuk dan menjadi bagian dari kita, atau kita menutup diri dan berpura-pura lalu bersiap untuk tercengang kaget saat dunia dipenuhi metaverse dan kita hanyalah sebagai penonton dan pengikut, bukan pemain utama?”
Satu hal yang paling sulit untuk mewujudkan Metaverse Peradaban Megalitik Maek,adalah merekam semua data megalitik secara digital lalu mengembangkan platform metaversnya. Langkah selanjutnya akan terasa mudah terlebih lagi bila dibantu berbagai pihak yang sadar akan pentingnya pelestarian dan pemejuan kebudayaan megalitik Maek.
Pelastarian Megalitik Maek tidak mesti dengan turun kelapangan membabat semak belukar dan penelitian berminggu-minggu. Namun juga dapat dilakukan dengan keajaiban smarthphone lalu menyebarkan keunikan dan keindahan nya keseluruh penjuru dunia. Teknologi telah menjembatani kita yang hidup dimasa kini dengan masa lampau, dan teknologi membantu kita untuk mempersiapkan masa depan pelestarian dan pemajuan megalitik Maek. Setidaknya kita perlu merenungkan quote populer ”siapa yang mengusai teknologi, maka dialah sesungguhnya menguasai dunia”.
*Penulis adalah Dosen Arkeologi Universitas Jambi