Home Nasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Memahami Keragaman Agama untuk Perdamaian

Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Memahami Keragaman Agama untuk Perdamaian

Jakarta, Gatra.com – Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi secara resmi membuka Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dengan tema “Kolaborasi Multi Agama dalam sebuah Masyarakat Inklusif” yang digelar pada 10-11 Juli 2024. Acara tersebut terselenggara atas kerja sama Kementerian Luar Negeri bersama Institut Leimena.

Dalam sambutannya, Menlu Retno menekankan literasi keagamaan lintas budaya sebagai upaya memahami keragaman agama dan membina kolaborasi antar umat beragama. Retno menyebut, pencarian perdamaian saat ini menjadi urusan yang mendesak. Menurutnya, adanya kondisi memprihatinkan, yakni konflik terbuka yang merenggut lebih banyak nyawa di seluruh dunia, mulai dari perang di Ukraina hingga situasi di Afghanistan dan Palestina, telah mempertanyakan eksistensi solidaritas dan kemanusiaan.

“Konflik-konflik ini tidak secara inheren bersifat agama, tetapi elemen-elemen agama sering kali hadir dan meningkatkan ketegangan. Oleh karena itu, memahami keragaman agama menjadi sangat penting, sebuah upaya yang harus selalu kita pelihara,” kata Menlu Retno dalam Konferensi Internasional LKLB yang dihadiri sekitar 200 peserta dan undangan dari dalam dan luar negeri di Jakarta pada Rabu, 10 Juli 2024.

Acara pembukaan dihadiri oleh 22 perwakilan negara asing termasuk sejumlah duta besar, yaitu Duta Besar Austria untuk Indonesia Thomas Loidl, Dubes Jordania untuk Indonesia dan ASEAN Sudqi Atallah Abd Alkader Al Omoush, Dubes Romania Dan Adrian Balanescu, Dubes Spanyol Francisco Aguilera Aranda, Dubes Uni Emirat Arab Abdulla Salem Al Dhaheri, dan Dubes Takhta Suci Vatikan untuk Republik Indonesia Mgr Piero Pioppo.

Retno menegaskan, penyelesaian konflik membutuhkan pihak-pihak yang bertikai memiliki kemauan untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif. Namun, kesediaan ini tidak jatuh dari langit, harus ada pihak-pihak yang mengupayakannya. Tidak hanya, para pemimpin politik memikul tanggung jawab ini, tetapi juga semua elemen masyarakat, terutama para pemimpin agama.

Retno menyatakan kebebasan setiap agama harus dijamin secara hukum, di sisi lain, keragaman harus dihormati. Jangan sampai perbedaan agama menciptakan fanatisme dan menimbulkan ketegangan.

“Di Gaza lebih dari 37.000 orang terbunuh, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Semua kekejaman harus dihentikan. Manusia dan kemanusiaan harus ditempatkan sebagai prioritas utama atau nomor satu,” kata Retno Marsudi.

Retno melanjutkan Indonesia secara aktif bekerja sama dengan komunitas internasional untuk tiga agenda. Pertama, memperkuat toleransi untuk mencegah terjadinya polarisasi sosial yang dapat meningkatkan ketegangan bahkan konflik terbuka. Dalam ASEAN, Indonesia mempromosikan prinsip Bhineka Tunggal Ika, untuk mendorong pemahaman lintas agama dan budaya dalam menghadapi kompleksitas masalah global.

Kedua, mempromosikan inklusivitas. Keyakinan yang beragam harus dilihat sebagai aset untuk advokasi perdamaian. Ketika pihak-pihak dari berbagai latar belakang berpartisipasi dalam dialog yang konstruktif, solusi yang dtawarkan akan semakin tajam. Oleh karena itu, Indonesia dengan sungguh-sungguh melibatkan para pemuka agama dunia. Dialog antar agama adalah bagian penting dari Diplomasi Indonesia.

“Indonesia memiliki 34 negara mitra dialog lintas agama, untuk berkolaborasi dalam mempromosikan literasi lintas agama dan budaya,” kata Retno.

Ketiga, membina kolaborasi lintas agama, yang menjadi alasan hadir dalam Konferensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Perbedaan yang mencolok tidak boleh menghalangi kita untuk saling menghormati dan berkolaborasi demi kemanusiaan. Perbedaan kita harus menjadi kekuatan dan aset kita, bukan kelemahan.

“Melalui dialog dan kolaborasi lintas agama, mari kita bangun dunia yang lebih baik dan lebih damai,” kata Retno.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyampaikan inti dari literasi keagamaan lintas budaya adalah bagaimana masyarakat yang berbeda agama dan kepercayaan bisa membangun kerja sama di tengah berbagai keberagaman yang ada. Disadari bahwa kemajemukan Indonesia menjadikannya unik, namun di sisi lain, tetap menghadapi banyak tantangan.

“Lewat konferensi ini, kita ingin menyoroti kerja sama dalam masyarakat berbeda agama dan kepercayaan untuk membangun masyarakat inklusif. Sesuatu yang sederhana di Indonesia, tapi jika membaca situasi dunia saat ini, masih banyak ketakutan, kekhawatiran akan perbedaan seperti Islamofobia, Xenophobia. Kita punya rasa percaya diri dengan pengalaman kita sebagai bangsa Indonesia,” kata Matius.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Siti Nugraha Mauludiah, mengatakan Indonesia melalui program LKLB dianggap telah menjadi pelopor karena dalam tiga tahun sedikitnya telah melatih 8.000 guru dan pendidik.

“Inisiatif yang diadakan oleh Institut Leimena adalah bagian dari diplomasi public Indonesia dalam hal meningkatkan literasi keagamaan Lintas budaya ini sebagai soft power Indonesia,” kata Siti.

Konferensi Internasional LKLB pada 10-11 Juli ini merupakan Konferensi LKLB yang kedua setelah pelaksanaan serupa pada November 2023 bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Konferensi LKLB digelar secara hybrid via Zoom dengan jumlah pendaftar daring sudah mencapai lebih dari 4.000 peserta dari sekitar 21 negara.

29