Home Kesehatan IISD Dorong Kampanye Edukatif Pengendalian Tembakau

IISD Dorong Kampanye Edukatif Pengendalian Tembakau

Jakarta, Gatra.com – Lembaga Riset dan Advokasi Publik, Indonesia Institute for Social Development (IISD) menggelar Workshop Media tentang Kampanye Edukatif Pengendalian Tembakau di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, pada Kamis, 13 Juni 2024. Workshop Media tersebut mengambil subtema “Strategi serta Peningkatan Kesadaran Publik tentang Bahaya Tembakau Serta Pelarangan Total Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok”.

Sejumlah narasumber kompeten hadir memberikan pemaparan dalam workshop yang dihadiri puluhan jurnalis dari sejumlah media massa. Workshop terbagi atas dua sesi. Di mana sesi pertama mengambil topik “Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia. Sesi kedua diisi dengan “Sharing Session Bersama Media”.

Sesi pertama menghadirkan empat narasumber. Di antaranya Dr. Benget Saragih. M. Epid selaku Ketua Tim Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau; Dr. Sudibyo Markus selaku Advisor IISD; Muhamad Bigwanto dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Direktur Pogram IISD, Ahmad Fanani.

Sementara sesi kedua dibawa dan dipandu secara interaktif oleh wartawan senior Adhitya Ramadhan yang juga Wakil Kepala Desk Humaniora Harian Kompas. Kegiatan workshop dilatarbelakangi peningkatan kesadaran publik tentang bahaya tembakau. Karena itu, upaya pencegahan dan pengendalian penggunaan tembakau menjadi penting dilakukan. Salah satunya dengan melakukan kampanye edukatif yang efektif dapat membantu mengubah persepsi dan sikap masyarakat terhadap penggunaan tembakau.

Dalam kesempatan itu, puluhan jurnalis mendiskusikan strategi peningkatan kesadaran publik terkait bahaya tembakau serta implementasi kebijakan nasional dalam pengendalian tembakau. Media memiliki peran signifikan dalam menangani darurat rokok dan pengendalian tembakau karena mampu membentuk opini publik dan memengaruhi perilaku masyarakat. Informasi yang disampaikan melalui berita, artikel, dan program televisi dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya tembakau serta menginspirasi tindakan untuk mengurangi konsumsi tembakau.

IISD merangkum kajian bahwa tingginya konsumsi rokok berdampak linear terhadap peningkatan kejadian penyakit yang dapat disebabkan oleh tembakau, yang umumnya termasuk dalam kategori Penyakit Tidak Menular yang mahal. Berbagai data menunjukkan rendahnya indikator-indikator kesehatan. Pada 2022, sebanyak 23,38% pemuda mengaku memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, dengan kenaikan sekitar 34% dalam tujuh tahun.

Ketergantungan Indonesia pada adiksi tembakau berada pada titik yang mengkhawatirkan. Profil Statistik Pemuda Indonesia 2022 menyebutkan adanya alarming rate, yaitu sebanyak 77,5% anak muda laki-laki mencoba merokok. Merujuk data Outlook Industri Tembakau 2023, produksi rokok di Indonesia meningkat signifikan, lebih dari 100 miliar batang dalam 17 tahun, dari sekira 222 miliar batang pada 2005 menjadi 323,88 miliar batang pada 2022.

Meskipun sudah banyak bukti yang menunjukkan dampak negatif tembakau, industri rokok terus menggunakan berbagai strategi pemasaran untuk menarik konsumen baru, khususnya anak-anak dan remaja. Iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media dan acara publik menciptakan citra positif tentang merokok dan menggoda generasi muda untuk mencoba dan akhirnya menjadi perokok.

Larangan iklan rokok dan sponsorship diatur untuk mengurangi promosi terhadap pengendalian tembakau di Indonesia yang dapat mempengaruhi masyarakat, terutama kelompok yang rentan seperti anakanak dan remaja. Namun, kenyataannya, langkah ini belum menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), terjadi peningkatan prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun, dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2019. Perokok pemula meningkat dari tahun 2017 ke 2019 dari 9,6% menjadi 23,1%, dan usia 15-19 meningkat 140% dari 36,3% menjadi 52,1%. pemerintah Indonesia telah mengupayakan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk menekan laju konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya.

Kebijakan tersebut secara legal berbasis pada Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Peraturan tersebut antara lain mengatur penerapan Peringatan Kesehatan Bergambar, Penetapan Cukai, Pengendalian Iklan, Promosi, dan Sponsor, dan Penerapan Kawasan Khusus Tanpa Rokok (KTR).

Pada 2023, seiring penggabungan regulasi bidang Kesehatan menjadi UU Omnibus Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, rezim pengendalian tembakau mengalami perubahan. Detil pengaturan rezim baru tersebut masih menunggu pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan dari UU tersebut.

Penasihat IISD Sudibyo Markus menegaskan, negara harus hadir dalam pengendalian tembakau dengan menganeksasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) sebagai langkah konkrit dalan melindungi kesehatan masyarakat dari dampak merokok dan paparan asap rokok.

Penasihat IISD Sudibyo Markus Memberikan Paparan (GATRA/ Andhika Dinata)

Menurutnya, sudah tidak ada waktu lagi bagi pemerintah untuk menunda-nunda ratifikasi Indonesia di FTCT. “Pemerintah sebagai representasi negara yang wajib melindungi segenap masyarakat, harus lebih keras dan berpikir ulang dan ambil langkah cepat untuk meratifikasi/aksesi FCTC tersebut dan jangan terundur-undur lagi,” ujar Sudibyo.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan RI Dr. Benget Saragih, M. Epid, mengharapkan aksesi FCTC dapat segera dilaksanakan agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh hak untuk hidup sehat, produktif dan harmonis guna memenuhi kesinambungan pengembangan sumber daya manusia.

“Upaya ini juga dalam rangka mendukung RPJMN, dalam rangka menurunkan prevalensi perokok pemula. Kementerian Kesehatan terus mendukung aksesi FCTC,” kata Benget.

Diketahui, FCTC atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau merupakan perjanjian internasional kesehatan-masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO).

FCTC bertujuan melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi, melalui sebuah kerangka kerja untuk pengendalian tembakau.

Di tingkat internasional, FCTC didukung oleh Framework Convention Alliances yang merupakan aliansi dari 411 organisasi di 100 negara yang mendorong pemerintah dari berbagai negara, terutama anggota WHO, untuk melakukan negosiasi, ratifikasi dan implementasi FCTC.

Direktur Pogram IISD, Ahmad Fanani, menjelaskan, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk menangani masalah kesehatan serius yang disebabkan oleh konsumsi tembakau.

Menurutnya, RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) secara spesifik memberikan target penurunan prevalensi dan rekomendasi strategi untuk mencapainya, antara lain dengan penguatan regulasi, pembesaran PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar), pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) keseluruh Kabupaten dan Kota dan pelarangan total iklan rokok, namun belum terealisasi sampai hari ini.

“Rencana RPJMN 2020-2024 menargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1% menjadi 8,7 persen, namun berbagai data mengindikasikan target tersebut tampak jauh dari tercapai,” kata Ahmad.

Ahmad menyebut, iklan rokok bertentangan dengan tujuan pembangunan kesehatan, yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan setinggi-tingginya. Berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok. Dalam studi IISD pada 2022, 71% Perokok Pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok.

Beberapa negara telah mengimplementasikan pelarangan total iklan rokok sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi konsumsi tembakau dan dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat. Prancis memiliki kebijakan pelarangan total iklan rokok sejak 1991. Mereka melarang iklan rokok di media cetak, televisi, radio, dan internet. Prancis juga telah melarang merk dan logo rokok di toko-toko.

Di kawasan ASEAN, Thailand mulai menerapkan pelarangan total iklan rokok pada 1992. Mereka melarang iklan rokok di media, stasiun radio, televisi, dan iklan di tempat umum. Sementara Indonesia, dengan lemahnya regulasi pada pelarangan iklan dan promosi serta sponsor rokok, menunjukkan prevalensi perokok aktif paling tinggi di antara negara-negara ASEAN dan G20.

143