Jakarta, Gatra.com - Langkah DPR yang menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 mengenai Kementerian Negara sebagai usulan Rancangan Undang Undang pada 14 Mei lalu, mengundang pro dan kontra banyak pihak.
Revisi undang-undang tersebut mencakup pasal 10 tentang wakil menteri yang akan dihapus, lalu pasal 15 yang mengatur jumlah keseluruhan menteri dalam kabinet yang paling banyak 34 orang menjadi sesuai kebutuhan presiden yang diperkirakan menjadi sekitar 40 lebih kementerian, dan materi tambahan terkait dengan tugas pemantauan dan peninjauan Undang-Undang Kementerian Negara.
Hal ini menciptakan banyak reaksi terhadap revisi Undang-Undang Kementerian Negara ini, mulai dari menambahkan jumlah kementerian sehingga dinilai memaksimalkan kinerja kabinet, “mengakomodir partai”, hingga pemborosan anggaran yang dinilai dapat merugikan negara.
Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, Prof Lili Romli, menilai bahwa perubahan nomenklatur ini apabila untuk menajamkan tupoksi dan menyederhanakan jumlah kementerian merupakan suatu langkah yang baik. "Namun sebaliknya, hal tersebut akan menyakiti publik apabila perubahan ini digunakan untuk mengakomodir kepentingan partai dan relawan agar kebagian “jatah” di pemerintahan," ujar peneliti di BRIN ini.
Jika melihat ke masa lampau, ungkap LIli Romli, terdapat korelasi dengan masa kini terkait penambahan dan jumlah kementerian dalam kabinet. "Tepatnya pada era Orde Lama, Presiden Soekarno pernah memiliki kabinet yang dijuluki sebagai “Kabinet 100 Menteri” karena jumlah menterinya sebanyak 109 orang," kata Lili Romli.
Kabinet Dwikora II ini dibentuk oleh Soekarno sebagai respon untuk mengatasi krisis sosial, keamanan, dan ekonomi yang terjadi, ditambah lagi kabinet ini dibebani oleh tanggung jawab yang besar setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Perlu diketahui juga bahwa Kabinet Dwikora II ini merupakan hasil reshuffle dari Kabinet Dwikora I dimana isi dari Kabinet ini masih berisi tokoh-tokoh dari PKI dan beberapa simpatisannya. Kabinet ini pun dinilai tidak efektif dan hanya bertahan sekitar 1 bulan saja.
“Jumlah menteri yang banyak pasti tidak akan efektif, akan terjadi tumpang tindih kewenangan dan tupoksi, pada zaman Soekarno yang dikenal dengan 100 Menteri dalam rangka bagi kekuasaan, kabinet tersebut tidak berjalan efektif. untuk itu dalam revisi Undang-Undang Kementerian Negara harus dibatasi, peran undang-undang adalah untuk membatasi kekuasaan presiden," kata dosen FISIP UI ini.
Ia kemudian memberikan rekomendasi bahwa Revisi UU Kementerian Negara harus dikaji secara mendalam, sebab hal tersebut akan berdampak pada konsolidasi kementerian itu sendiri. "Belum lagi masalah membengkaknya anggaran dan dampaknya sampai ke tataran pemerintah daerah," tutupnya.