Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) akan memperbaiki permohonan perkara uji materi (judicial) Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengenai legal standing dan beberapa hal yang disampaikan, kami akan segera memperkuat dan memperbaiki,” kata Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M. Hum., Ketum APHA menanggapi permintaan hakim panel di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, (21/7).
Prof. Laksanto didampingi tim kuasa hukum APHA menyampaikan, pihaknya akan memperbaiki permohonan uji materi tersebut karena ini merupakan satu-satunya upaya untuk menyejajarkan masyarakat hukum adat yang masih terpinggirkan.
“Jadi jalan satu-satunya kita mencoba untuk melakuka judicial review di Mahkamah Konstisti yang terhormat ini. Ini merupakan gerbang kami dan harapan teman-teman sebetulnya,” ucap dia.
Ia menjelaskan, pengajuan permohonan uji materi UU Kementerian Negara ini ditempuh setelah APHA dan elemen yang peduli terhadap Masyarakat Hukum Adat menempuh perjalanan panjang agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat.
“Ini bentuk perjalanan panjang dalam pengesaha RUU masyarakat hukum adat yang sudah mengendap hampir sudah 20 tahun di DPR,” ujarnya.
Terakhir, hanya satu fraksi di DPR, yakni NasDem yang turut berupaya agar RUU Masyarakat Hukum Adat segera dibahas dan disahkan menjadi UU. Namun, itu pun akhirnya kandas karena tidak mendapat dukungan dari fraksi-fraksi lainnya.
“Satu fraksi yang mendukung, akhirnya silakan anda teriak di gerbang. Kita sebagai pendidik berpikir, mengapa RUU yang lain bisa begitu cepatnya untuk segera disahkan,” ujarnya.
Para akademisi yang mengampu mata kuliah Masyarakat Hukum Adat dan tergabung dalam APHA sudah kerap memberi berbagai masukan yang sangat kontrukstif pada saat RUU Masyarakat Hukum Adat itu masuk di prolegnas.
“Kemudian tiba-tiba turun, kemudian tiba-tiba lenyap lagi. Jadi tidak ada prioritas untuk RUU Masyarakat Hukum Adat ini,” tandasnya.
Bukan hanya di DPR, APHA dan para pegiat atau organisasi yang concern terhadap Masyarakat Hukum Adat pun menempuh upaya hukum, di antaranya mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Lebih lanjut Prof. Laksanto menyampaikan, tidak dibahas dan disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat ini merupakan suatu bentuk keteledoran pemerintah dan DPR dalam melindungi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, termasuk tanah ulayat mereka yang kerap diserobot pemerintah. Namun PTUN juga menolak.
APHA menilai, tidak segera dibahas dan disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat ini merupakan salah satu fakta bentuk pendegradasian terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia yang sudah ada sebelum Republik Indonesia ini berdiri.
Ketua Bidang Bidang Advokasi APHA, Yamin, S.S., S.H., M. Hum., M.H., menyampaikan, pihaknya akan segera menggelar rapat dengan para kolega senior di APHA untuk memperbaiki permohonan uji materi UU tersebut. “Dalam waktu dekat kami akan melakukan rapat,” ucapnya.
MK menggelar sidang perdana Perkara Nomor 67/PUU-XXII/2024 pada Senin, (21/7). Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.
Adapun isi Pasal 5 Ayat (2) UU Kementerian Negara yang diuji dalam perkara ini, yakni “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial. Ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”
Salah satu kuasa hukum Pemohon, Aditya Ramadhan Harahap, menyebutkan, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebab dalam urusan pemerintahan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih sebatas formalitas. Mereka hanya dijadikan sebagai objek peraturan, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjadi subjek dari suatu peraturan.
Bahkan masyarakat hukum adat termarjinalkan dalam proses pembangunan, utamanya terkait keberadaan tanah adat atau ulayat milih masyarakat adat tersebut. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan masyarakat adat diakui Pemohon terdapat benturan antara hukum adat dan hukum nasional Indonesia.
“Apabila dikaji melalui pendekatan perbandingan negara, urusan pemerintahan yang berkaitan dnegan masyarakat adat di beberapa negara telah terlembaga melalui kementerian khusus yang menangani permasalahan masyarakat hukum adat,” ujar Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum Pemohon.
Viktor melanjutkan, dengan adanya kementerian khusus ini dapat menampung aspirasi dan keluhan dari masyarakat adat yang memiliki keterbatasan dalam akses untuk bersuara secara langsung ke pemerintah pusat.
Adapun pertimum dalam perkara ini, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar Pasal 5 Ayat (2) UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”
Masukan Mahkamah
Hakim Konstitusi Enny dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon ini perlu dikaitkan dengan keberadaan norma, sehingga belum diuraikan dengan jelas dan rinci. Selain itu, Pemohon juga harus menyertakan maksud dari keinginan adanya kementerian khusus masyarakat hukum adat dari 8 negara yang diuraikan pada permohonannya.
“Apakah ini masyarakat adat ini masuk pada konsep dan kategori indigenous people pada 8 negara yang memiliki kementerian negara yang mengurus urusan-urusan masyarakatnya,” kata Enny.
Adapun Hakim Konstitusi Arsul dalam nasihatnya menyebutkan Pemohon perlu menjelaskan hak konstitusional yang terdiskriminasi dan dialami masyarakat hukum adat, sehingga muncul ketidakadilan.
Kemudian Wakil Ketua MK Saldi menyampaikan, perlu menjelaskan tentang sejarah pengelompokan masyarakat di Indonesia dengan keberadaan indigenous people pada delapan negara yang memiliki kementerian khususnya.
“Apakah yang diaturkan itu masyarakat hukum adat tersebut sebagai subjek atau objek? Jadi jelaskan dalam sebuah rumusan yang terkait dengan pasal-pasal yang ada,” kata Saldi.
Pada akhir persidangan, Saldi mengatakan terhadap permohonan ini Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonan.
“Kalau mau memperbaiki itu perbailkan permohonan baik merupakan copy atau softcopy diterima Mahkamah paling lambat Senin, 5 Agustus 2024, pukul 09.00 WIB,” kata Saldi kemudian mengetukkan palu menunda persidangan.